Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Semenjak Saat Itu

6 November 2019   07:34 Diperbarui: 6 November 2019   07:30 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~Sesuatu yang tak bisa diminta dan tak bisa dihindari, itulah kematian. Ia adalah kelahiran baru, keluar menuju fase yang lebih lama dan lebih lapang dari fase kehidupan di dunia. Kehidupan di dunia ini hanyalah jalan. Hidup kita di dalamnya seperti bermigrasi. Di suatu tempat menuju tempat yang baru.~

***

Hari ini seharusnya hari ulang tahun ibu. Tapi ibu sudah tak ada. Aku mengingatnya dengan membuat nasi kuning. Meski kumakan sendiri dengan adik. Aku tahu, ibu melihat dari kejauhan. Dengan senyuman manis yang biasa ia berikan kepadaku dan adik. Ibu bahagia di dunianya, yang lebih indah dari sebelumnya.

Sedang ayah, jarang menyentuh makanan. Aku cemas akan keadaannya. Semakin hari semakin kurus karena selalu memikirkan ibu. Sepeninggal ibu, ia tak bersemangat. Termasuk malas makan.

Padahal aku dan adik selalu bilang padanya, agar tak terlalu memikirkan ibu. Aku selalu menghiburnya dengan mengatakan ibu telah bahagia di sana. Ibu telah terbebas dari segala rasa kesakitan. Tetapi ayah diam saja dan hanya mengangguk.

***

Suatu hari, ayah terlihat sedang memandangi sebuah foto. Aku mengamatinya. Lalu mendekat padanya dan bertanya, "Ayah, mengapa ayah selalu bersedih, apakah ayah tak memikirkanku dan adik?"

Ayah hanya menatap kami berdua. Jarang berinteraksi dengan kata, tapi pandangan itu menyedihkan. Kadang senyum mengembang tipis. Selebihnya diam membisu.

Lama-lama aku menjadi terbiasa. Aku hanya bisa memastikan, apakah ayah baik-baik saja. Dan menjaganya agar tak sakit.

***

Suatu pagi, ketika matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, aku menengok kamar ayah. Hal ini kulakukan rutin semenjak ibu meninggalkan kami. Memastikan bagaimana keadaan ayah.

Oh. Ayah tak ada di kamarnya! Kemana ayah? Bukankah masih terlalu pagi untuk pergi ke sawah mengurus padi yang telah menguning? Memang dua minggu lagi panen. Harus sering ditengok. Ayah tak biasanya begini. Ia tak pernah pergi tanpa berpamitan.

Aku mencarinya. Pasti ayah ke makam ibu. Berkali-kali selalu begitu ketika tak kutemukan ayah di kamar. Benar saja. Ayah ke makam ibu. Lega rasanya.

Aku mengamati dari jauh. Ayah membawa beberapa kuntum bunga yang dipetik dari halaman rumah. Membiarkannya larut dalam doa dan menyapa ibu dengan caranya. Aku tahu, jalinan cinta kuat mengikat keduanya. Pasti bisa menjadi penghubung, meski ibu telah pergi ke alam yang berbeda.

Ayah menghela nafas panjang. Entah apa yang dibicarakan dengan ibu. Tapi wajah ayah tampak lega. Pancaran matanya bersinar lebih terang. Tak bisa kutebak, apakah ayah telah merelakan ibu atau sebaliknya.

Aku segera pulang sebelum ayah mengetahui keberadaanku.

"Nok, mana kopi buat ayah? Juga sarapannya? Ayah merasa lapar sekali. Masak apa kamu hari ini?" pertanyaan beruntun dari ayah membuatku kaget. Ayah menanyakan sesuatu yang sudah lama tak ditanyakan. Aku tersentak kaget.

"Beneran ayah ingin sarapan sepagi ini? Nok tadi masak nasi goreng. Ayah pasti suka, karena ini resep ala ayah. Istimewa. Aku ambilkan ya, yah." kataku semangat. Ayah mengangguk. Ayah memang penggemar nasi goreng, dengan ikan teri kecil di dalamnya, serta cabai rawit pedas lima biji. Itu resep yang diberikan ayah kepadaku, saat aku belajar memasak sepeninggal ibu.

"Sedikit atau banyak, yah?"

"Secukupnya!"

Hari ini merupakan hari yang benar-benar menakjubkan. Ayah kembali bersemangat. Hatiku sangat riang. Tak ada lagi wajah muram  Ia telah kembali, dengan kasih dan sayangnya buatku dan adik.

***

Hari ini aku pulang sekolah lebih awal. Berboncengan sepeda bersama adik.  Ada guru yang meninggal, lalu murid-murid dipulangkan lebih awal. Sekolah kami SMP 10. Adik hanya terpaut satu tahun. Ia menjadi teman curhat dikala sedih. Semenjak kepergian ibu, adik menjadi pendengar yang baik. Tak pernah protes. Meski aku tahu, ia juga membawa kesedihan yang sama. Tentang kepergian ibu dan patah hatinya ayah.

Sesampai di rumah, sedang sepi. Pasti ayah menengok sawah. Musim panen tiba kembali. Padinya sebentar lagi panen.

Sawah ayah luas. Dua hektar. Lahannya subur. Ayah telaten dalam bertani. Yah, memang bukan ayah yang melakukan dalam arti sebenarnya. Seperti mencangkul dan menanam padi. Ada pegawai yang membantunya. Ayah hanya memberi cara menanam dan bagaimana perlakuan terhadap padi.

Ayah seorang yang cerdas. Aku sangat mengaguminya. Ia petani sukses, meski sempat beberapa waktu lalu sawah terbengkalai. Tapi ayah tetap merawat sawah dengan baik.

***

Ketika sampai di ruang tengah, ada seseorang seusia ibu. Hanya tampak lebih muda. Aku belum pernah melihatnya. Tapi ia terlihat ramah. Ayah ada di sampingnya. Aku menatapnya curiga. Hem... jangan-jangan ia ingin menggantikan posisi ibu? Aku tak mau ia menjadi pengganti ibu. Juga tak mau ayah berpaling darinya. Aku ingin masuk ke kamar, tanpa melihatnya. Tapi ayah mencegah dan memanggil agar mendekat.

"Nok, ke sini sebentar, kenalkan. Ibu Dira, teman ayah saat sekolah dulu." Aku berhenti sebentar. Di hadapan ibu Dira, salim lalu cepat-cepat berlalu. Tak ingin mengetahui lebih jauh.

Hatiku sakit seperti tersayat sembilu. Hancur berkeping-keping. Kemana kesetiaan ayah? Lalu, ketika ayah sedih, bukankah itu untuk ibu? Aku ingin lari. Tak ingin melihat ayah duduk dekat ibu Dira. Sekilas kulihat adik hanya bengong tanpa bisa berkata sepatah katapun.

***

Semenjak saat itu, aku lebih rajin mengunjungi makam ibu. Malas makan sehingga menjadi kurus. Aku tidak perduli.

Tetapi ayah menjadi rajin merawatku. Tak lelah merayu, agar aku jangan bersedih. Seperti dulu saat aku merayu ayah, ketika sedih kehilangan ibu.  

Lalu ibu Dira? Ia rajin memasak makanan kesukaanku. Berusaha agar aku mau makan dan bersedia menyentuh masakannya.

Adik? Ya, ya. Adik makin gemuk, karena cocok dengan masakan ibu Dira. Ia yang selalu menghabiskan masakan itu. Ia tetap menjadi teman baik. Menghiburku dengan tingkahnya yang lucu.

Ayah dan ibu Dira telah menikah selepas panen bulan lalu.

***

Semarang, 6 November 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun