Oh. Ayah tak ada di kamarnya! Kemana ayah? Bukankah masih terlalu pagi untuk pergi ke sawah mengurus padi yang telah menguning? Memang dua minggu lagi panen. Harus sering ditengok. Ayah tak biasanya begini. Ia tak pernah pergi tanpa berpamitan.
Aku mencarinya. Pasti ayah ke makam ibu. Berkali-kali selalu begitu ketika tak kutemukan ayah di kamar. Benar saja. Ayah ke makam ibu. Lega rasanya.
Aku mengamati dari jauh. Ayah membawa beberapa kuntum bunga yang dipetik dari halaman rumah. Membiarkannya larut dalam doa dan menyapa ibu dengan caranya. Aku tahu, jalinan cinta kuat mengikat keduanya. Pasti bisa menjadi penghubung, meski ibu telah pergi ke alam yang berbeda.
Ayah menghela nafas panjang. Entah apa yang dibicarakan dengan ibu. Tapi wajah ayah tampak lega. Pancaran matanya bersinar lebih terang. Tak bisa kutebak, apakah ayah telah merelakan ibu atau sebaliknya.
Aku segera pulang sebelum ayah mengetahui keberadaanku.
"Nok, mana kopi buat ayah? Juga sarapannya? Ayah merasa lapar sekali. Masak apa kamu hari ini?" pertanyaan beruntun dari ayah membuatku kaget. Ayah menanyakan sesuatu yang sudah lama tak ditanyakan. Aku tersentak kaget.
"Beneran ayah ingin sarapan sepagi ini? Nok tadi masak nasi goreng. Ayah pasti suka, karena ini resep ala ayah. Istimewa. Aku ambilkan ya, yah." kataku semangat. Ayah mengangguk. Ayah memang penggemar nasi goreng, dengan ikan teri kecil di dalamnya, serta cabai rawit pedas lima biji. Itu resep yang diberikan ayah kepadaku, saat aku belajar memasak sepeninggal ibu.
"Sedikit atau banyak, yah?"
"Secukupnya!"
Hari ini merupakan hari yang benar-benar menakjubkan. Ayah kembali bersemangat. Hatiku sangat riang. Tak ada lagi wajah muram  Ia telah kembali, dengan kasih dan sayangnya buatku dan adik.
***