Sebenarnya aku bisa saja cepat pulang saat hujan mulai datang, tapi aku masih bertahan beberapa waktu. Demi Sarita. Demi cintaku.
Aku putuskan untuk menemui Sarita seperti biasa, meski mama mencegahku.
Hei, itu Sarita! Memakai syal dan membawa kotak makanan di tangannya. Pasti untukku. Ia selalu membawa makanan kesukaanku. Meski bukan permintaanku.
Kami berpelukan sekilas.
"Hei, Dimitri, badanmu hangat. Apakah kamu sakit? Apakah kau sudah meminum obat? Butuh obatkah? Aku belikan ya? Dimitri, kau pucat!" seru Sarita cemas. Wow...wow... dia bahkan lebih cemas daripada mama.
Aku menggelengkan kepala. Begitu cemasnya ia padaku. Padahal aku hanya sedikit demam. Aku justru mencemaskannya, sedikit sesak yang kudengar dari nafasnya. Ia juga memakai syal, pertanda bahwa sedang tak sehat.
Kami berdua duduk santai di kursi. Berdampingan. Di tempat rahasia. Ah, sebenarnya sih, bukan rahasia sekali. Tetapi karena tempat ini favoritku dan ia.
"Dimitri, kamu tahu? Hanya kamu temanku." Ia mulai curhat. "Dua hari aku tak datang. Pasti kamu menungguku, ya? Maafkan aku, Dimitri. Aku sakit. Dan hari ini aku datang, membawa makanan kesukaanmu. Sungguh, aku kangen padamu," cerocos Sarita.
Sedang aku, hanya mendengarkan ceritanya, sambil mengunyah makanan pemberiannya.
Aku memandangnya. Hem. Dia cantik, hanya sedikit pucat. Mungkin karena sedang sakit.
"Dimitri, oh Dimitri. Kau tahu? I'm dying. Aku tak tahu. Entah apa penyakitku. Kata mama, aku harus tetap semangat. Jangan putus asa, tetap tersenyum. Kamu memberikan semangat untukku, Dimitri. Maka itu aku suka bersahabat denganmu. Ya, ya, meski kadang menjengkelkan, karena kamu begitu pendiam. Tapi aku suka padamu, sungguh!" katanya sambil memelukku.