Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cemburu pada Suatu Hari

19 September 2019   17:06 Diperbarui: 19 September 2019   17:07 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Entah. Tetapi cemburu ini membelenggu. Mengurung dalam sebuah ruang pengap, hampir membuatku sesak bernafas. Saat dinalar, apa yang membuatku cemburu?

ruang rindu ini serupa pesan kepada angin.
rindu dalam sebuah racikan cinta yang dipadu dengan keterbatasan. menempati ruang dan hanya berupa sebuah uap rasa tak tampak. ruang rindu tersembunyi, tak pernah terungkap. berbentur pada jeda. menyeruak ingin segera berluang.
rindu menyampaikannya pada angin. membawanya menuju ke arah harusnya. tak sampai salah arah. lalu kembali kepadanya. tepat sasaran. rindu tersampaikan.
lalu rindu menempati ruang hati. jatuh kepada ia.
tapi, mengapa beralih pada cemburu?

Namanya Nakita. Ia yang berpeluang utama menjadi nama yang patut dicemburui. Bukan apa-apa. Nama itu telah mengisi jajaran huruf di cerita, yang terintip olehku. Boleh kan aku cemburu dan mengungkapkannya padamu?

"Kamu berlebihan," jawabmu tak menoleh, tetap fokus pada jajaran huruf-huruf di depanmu.

"Aku tak berlebihan. Hanya cemburu."

Tetapi kemudian kau mengatakan bahwa hanya ingin membuat sesuatu yang berbeda. Tak lebih. Lalu, siapa yang percaya? Ketika kau menulisnya dengan mengendap-endap seakan tak ingin diketahui oleh siapapun. Saat aku mendekatimu, bahkan kau berhenti menggerakkan tangan.

"Nothing happen, honey." katamu. Baiklah. Tak mengapa. Kali ini aku berusaha memiliki hati yang lapang.

***

Beberapa kali Nakita hadir dan membuatmu semakin memiliki dunia berbeda. Hanya kau dan Nakita. Lambat laun, membuatku tersingkir dari relung hatimu. Seakan melupakanku. Aku tak mau itu terjadi.

"Kau sudah makan?"

"Sebentar lagi. Tanggung ini,"

"Jangan sampai cacing di perutmu bernyanyi. Kasihanlah pada mereka."

Kau terbahak dan menghampiriku sejenak. Kecupan ringan mampir di dahi. "I love you, honey. Harusnya kau yang tak boleh telat makan."

Selanjutnya aku meninggalkanmu bersama Nakitamu.

cemburu hanya sebuah cerita. mengulik aura hati, karena rasa sayang menggebu-gebu. tergoda hanya karena serpihan hati yang merasa terabaikan. aku cemburu padamu. bukti bahwa sebagian aku ada di jiwamu. 

Lagi-lagi keingin tahuanku tentang Nakita menjadi-jadi. Apa sebenarnya yang terjadi. Wanita dalam ceritamu yang telah terbit kemudian itu mampu meraih simpati pembaca tak sedikit. Kau bercerita, betapa ia telah mengisi ruang hati. Penuh makna dan seperti memiliki ruh dalam cerita. Jiwamu ada di sana. Menghayati semua peran yang ada dalam cerita.

"Siapa Nakita?"

"Hanya tokoh dalam cerita. Kau mengerti itu kan, sayang?"

Hatiku memang selalu luluh lantak oleh sikapmu yang lembut. Tetapi ketika cemburu membelenggu, siapa yang tak marah?

Aku cemberut sambil mengelus perut buncit dan kau tertawa tergelak penuh kemenangan.

***

Semarang, 19/9/2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun