"Icha, maukah kau menari denganku? Lama aku tak menari denganmu," pintanya.
Aku masih kebingungan. Lalu suara semangat menggema di dalam gedung pertunjukan. Serempak dan aku tak bisa menolaknya.
"Menari... menari... menari...," seru mereka kompak.
Suara musik mengusikku. Jiwaku terbawa alunannya. Menarilah aku dengannya. Serasa de javu.
"Jiwamu memang untuk menari, Cha." katanya.
"Mengapa menghilang dan baru sekarang datang?"
"Aku bukan menghilang. Hanya bersembunyi."
"Kamu membuatku bagai layang-layang putus. Terseok-seok mencari arah angin. Mencarimu."
"Dan aku sekarang ada di depanmu. Ini aku, Cha." katanya sambil tetap menari.
Matanya tak lepas memandangku. Tarian ini spontanitas. Tak ada rancangan sebelumnya. Hanya mengikuti irama. Tetapi aku dan dia menyatu dalam tarian. Jiwaku ada di sana. Jiwanya, mengimbangi tarian yang spontan tercipta. Sempurna. Karena ada cinta? Juga rindu yang menggunung? Entahlah.
Irama musik berhenti. Tarian berakhir. Applause tak putus menggema. Penonton senang dan bahagia. Penari kesayangan mereka telah kembali.