Sore itu hujan gerimis datang mengundang. Padahal ketika pagi beranjak siang, panas terik menerpa kulit. Saya dan keluarga menuju Magelang, ke rumah seorang kerabat. Nah, bila dari Semarang, maka akan melewati kota Ambarawa. Kami memang sudah sering melewati Jalan Semarang-Ambarawa.
Ketika sampai di Ngampin Ambarawa, banyak penjual serabi berjajar di pinggir jalan. Menempati lapak-lapak kecil, yang nyaris seragam. Tiap lapak memiliki nama tergantung nama penjualnya. Tiap lapak, juga tersaji serabi di tempat tertutup yang transparan, sehingga bisa terlihat dari luar dan menarik hati pembeli.
Biasanya setiap melewati kawasan ini, kami akan berjalan terus tidak berhenti. Tetapi sore itu kami ingin mampir mencicipi serabi. Mumpung tidak tergesa dan santai menikmati perjalanan. Apalagi cuaca yang mendukung, perut kami lapar. Jeda antara makan siang ke arah makan malam masih lumayan panjang. Kami butuh pengganjal perut.
Berhentilah kami di sebuah lapak serabi. Lalu memesan serabi. Penjualnya bertanya, "Mau dibawa pulang atau makan sini?" Kami menjawab dimakan sini saja. Dengan sigap, penjualnya melayani kami.
![Dengan sigap ibu Samilah melayani pembeli. Serabi Ngampin tersaji hangat siap di depan mata. (Dok. Wahyu Sapta).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/31/55901923-2383335105066285-2513569995837931520-o-5ca0290fcc5283416664b653.jpg?t=o&v=770)
Semangkok serabi pun tersaji.
Saatnya kami mencicipi. Hem, dari baunya tercium aroma pandan. Perpaduan pandan, santan dan gula merah, merupakan sebuah kuliner legendaris dari Indonesia yang turun-temurun. Dan serabi ini merupakan makanan tradisional yang legendaris. Sudah lama ada dan hingga sekarang masih ada. Bahan yang dipakai juga masih alami.
Bahan dasar dari kue serabi, adalah tepung beras. Kemudian dicampur dengan santan dan garam. Daun pandan sebagai aroma menambah sedap rasa serabi. Adonan tersebut kemudian diaduk hingga menjadi sebuah adonan sedikit encer dan memiliki komposisi yang pas.Â
![Serabi yang telah matang, ditata dalam wadah dengan tutup yang transparan, sehingga menarik hati pembeli. Hem... lezat sepertinya. (Dok. Wahyu Sapta).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/31/55684217-2383335555066240-8397715847518355456-o-5ca029823ba7f74d70710362.jpg?t=o&v=770)
![Wajan yang dipakai terbuat dari gerabah. Demikian juga tungkunya. Memakai bahan bakar kayu, sehingga memberikan aroma yang khas pada kuliner yang satu ini. (Dok. Wahyu Sapta).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/31/55810936-2383335401732922-8907108765644357632-o-5ca029fecc52832c05046037.jpg?t=o&v=770)
Serabi matang dan diangkat. Disajikan dalam wadah tertutup yang transparan tadi. Jadi, meskipun berjualan di pinggir jalan, tetap bersih dan tidak terkena debu.
![Serabi ditaruh dalam wadah tertutup sehingga terjaga kebersihannya. Terdiri dari tiga varian rasa. Rasa aroma pandan, rasa gula merah, dan rasa original. (Dok. Wahyu Sapta).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/31/20190331-095048-5ca02b4dcc52832c0504603b.jpg?t=o&v=770)
Semangkok serabi mampu mengganjal perut kami. Lumayan menghangatkan badan, karena santan yang dituang masih hangat dan mengepulkan asap. Cuaca mendung yang dingin, mendukung nikmatnya serabi Ngampin.
Sambil mengobrol dengan bu Samilah, tak terasa serabi kuah nyaris habis tak bersisa. Dan yang tersisa adalah mangkoknya. Hahaha...
Bu Samilah bercerita bahwa dulu yang berjualan hanya satu orang. Itupun hanya pada saat bulan ruwah saja. Tetapi sekarang banyak penjual di sana, dan hampir tiap hari buka. Ada sekitar tujuh puluh penjual.
Ia sendiri buka lapak pada saat masa krisis moneter. Jadi sekitar tahun 1997. Lapak-lapak yang berjajar itu, dibuatkan oleh pemerintah. Ia juga penjual lainnya diberi modal untuk membuka warung serabi hingga sekarang. Jadi, sudah dua puluh tahun lebih ia berjualan serabi.
Biasanya warung akan buka siang sehabis zuhur, kemudian tutup saat serabi telah habis. Bu Samilah mampu menghabiskan sekilo tepung beras sehari.
Waktu beranjak. Saatnya kami melanjutkan perjalanan. Kami pun memesan kembali untuk dibawa pulang, karena rasanya yang enak dan segar. Saatnya membayar. Satu porsi serabi hanya dibandrol harga 5.000 rupiah. Murah dan mengenyangkan.
Rasa tradisional serabi di setiap kecapnya, mampu memberikan sensasi yang lekat dengan kearifan lokal. Alami dan belum tercampur dengan bahan-bahan kimia seperti makanan zaman now. Patut dilestarikan.
Nah, jika melewati Jalan Raya Ngampin Ambarawa, sempatkanlah mencicipi kuliner serabi kuah santan nan lezat dan segar ini. Jajanan pinggir jalan yang layak buat ampiran. Melestarikan makanan tradisional, sekaligus mengenalkannya ke generasi selanjutnya. Diharapkan mereka akan tetap menyukai makanan tradisional, yang biasanya terbuat dari bahan alami yang ada di sekitar kita. Juga menyehatkan.
Salam,
Wahyu Sapta.
Semarang, 31 Maret 2019.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI