Semangkok serabi mampu mengganjal perut kami. Lumayan menghangatkan badan, karena santan yang dituang masih hangat dan mengepulkan asap. Cuaca mendung yang dingin, mendukung nikmatnya serabi Ngampin.
Sambil mengobrol dengan bu Samilah, tak terasa serabi kuah nyaris habis tak bersisa. Dan yang tersisa adalah mangkoknya. Hahaha...
Bu Samilah bercerita bahwa dulu yang berjualan hanya satu orang. Itupun hanya pada saat bulan ruwah saja. Tetapi sekarang banyak penjual di sana, dan hampir tiap hari buka. Ada sekitar tujuh puluh penjual.
Ia sendiri buka lapak pada saat masa krisis moneter. Jadi sekitar tahun 1997. Lapak-lapak yang berjajar itu, dibuatkan oleh pemerintah. Ia juga penjual lainnya diberi modal untuk membuka warung serabi hingga sekarang. Jadi, sudah dua puluh tahun lebih ia berjualan serabi.
Biasanya warung akan buka siang sehabis zuhur, kemudian tutup saat serabi telah habis. Bu Samilah mampu menghabiskan sekilo tepung beras sehari.
Waktu beranjak. Saatnya kami melanjutkan perjalanan. Kami pun memesan kembali untuk dibawa pulang, karena rasanya yang enak dan segar. Saatnya membayar. Satu porsi serabi hanya dibandrol harga 5.000 rupiah. Murah dan mengenyangkan.
Rasa tradisional serabi di setiap kecapnya, mampu memberikan sensasi yang lekat dengan kearifan lokal. Alami dan belum tercampur dengan bahan-bahan kimia seperti makanan zaman now. Patut dilestarikan.
Nah, jika melewati Jalan Raya Ngampin Ambarawa, sempatkanlah mencicipi kuliner serabi kuah santan nan lezat dan segar ini. Jajanan pinggir jalan yang layak buat ampiran. Melestarikan makanan tradisional, sekaligus mengenalkannya ke generasi selanjutnya. Diharapkan mereka akan tetap menyukai makanan tradisional, yang biasanya terbuat dari bahan alami yang ada di sekitar kita. Juga menyehatkan.
Salam,
Wahyu Sapta.
Semarang, 31 Maret 2019.