Atifa menghela nafas dalam-dalam. Lega. Hari ini ia selesai menunaikan amanah yang diembannya dari para donatur. Besok masih banyak yang harus ia lakukan. Sebagai relawan.
Sebenarnya ia enggan meminta belas kasihan pada orang lain. Tetapi, ini bukan buat dirinya sendiri. Melainkan untuk para korban bencana yang baru saja terjadi di sekitar tempat tinggalnya. Ia memang menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Kemudian ia teruskan kepada para korban.
Setelah kejadian yang menghentakkan hati dan meluluh lantakkan seluruh penghuni pulau ini, ia banyak dihubungi oleh teman-teman di grup Whatsapp. Baik teman sekolah maupun teman kuliahnya dulu. Lalu mereka beramai-ramai menyumbangkan apa yang mereka punyai dengan ikhlas dan menitipkannya pada Atifa. Sebagai wujud empati kepada para korban gempa.
Ya. Memang, ia juga termasuk korban. Tetapi dirinya masih memiliki keberuntungan jika dibanding tetangga dan orang di sekitarnya. Ia masih diberi kesehatan dan tak memiliki luka yang cukup berarti. Hanya luka lecet yang menempel di kakinya. Ia tak merasakan kesakitan itu.
Bahkan hatinya lebih merasa teriris sakit, saat melihat Angga tetangganya yang masih berumur lima tahun harus mengalami patah kaki. Sedang ibu Angga mengalami memar di sekujur tubuhnya, akibat tertimpa atap rumah yang tergoncang oleh gempa dua hari lalu.
"Atifa, gimana keadaan kamu? Kami semua di sini mencemaskanmu."
Pesan yang ia terima dari mamanya. Atifa menjawab, bahwa ia baik-baik saja. Keluarga yang ada di rumah menjadi bingung dan cemas.
Atifa sendiri, sebenarnya sedang bertugas dan bekerja, jauh dari rumah dan keluarga yang berbeda pulau. Ia yang berprofesi sebagai guru, kebetulan ditempatkan di kota ini. Belum lama. Baru satu tahun.
Ia menyewa rumah kecil yang dihuninya bersama teman seprofesi satu sekolah. Hani. Yang berasal dari kota yang berbeda. Tetapi di sini ia sudah seperti saudara.
"Atifa, sebaiknya kamu pulang, nak. Di sana masih rawan gempa dan mama khawatir sekali dengan keadaanmu."
"Mama, Atifa nggak papa. Banyak hal yang bisa Atifa kerjakan di sini untuk membantu mereka sebagai relawan daripada harus pulang ke rumah. Mereka membutuhkanku, ma."
"Tetapi, dirimu juga harus menjaga diri."
"Mama, Atifa bisa jaga diri. Percayalah, ma. Atifa minta doa mama, agar Atifa selalu sehat dan bisa membantu mereka dengan sekuat tenaga." jawab Atifa untuk meyakinkan mamanya.
Mamanya tidak bisa mencegah dan hanya bisa mendoakan dari jauh akan keselamatan anak gadis kesayangannya. Dulu, mama Atifa sebenarnya keberatan jika harus melepasnya bertugas jauh dari rumah. Tetapi, Atifa bersikeras dan beralasan bahwa ini adalah panggilan jiwa.
Benar saja. Atifa nyaman di tempat barunya. Sebagai guru SMP Negeri. Ia mengajar matematika. Dan ia banyak disayang oleh muridnya. Atifa memang cerdas dan bisa membuat anak didiknya menjadi suka pada pelajaran matematika yang konon menjadi momok bagi mereka.
***
Malam ini, gempa datang lagi. Bahkan lebih keras dari kemarin lusa. Segera saja orang berlarian keluar dari rumah tinggal mereka. Tak berani lagi berada di dalam rumah, karena ketakutan tertimpa material rumah. Juga takut jika sewaktu-waktu terjadi gempa kembali. Suasana sangat mencekam. Apalagi listrik padam.
Atifa berpikir, bahwa mereka membutuhkan tenda, untuk melindungi diri dari hujan dan panas. Juga hawa dingin di malam hari. Besok, ia akan mencari tenda yang ada di seluruh pelosok kota ini. Dengan uang sumbangan dari rekan-rekannya. Bersama Hani dan teman lainnya di sini. Juga Sena, rekan guru yang mengajar di sekolah yang sama. Bahu membahu membantu para korban.
Hem, kata teman-teman guru, Sena dan Atifa mirip. Jangan-jangan mereka jodoh. Mereka sering menggodanya begitu. Tetapi ia belum memikirkan ke arah sana. Ia masih ingin mengabdi untuk sekolah dan murid-muridnya. Meskipun Sena memberi sinyal bahwa ia suka padanya.
***
Setelah semalaman ia tak bisa tidur, karena harus mengurus beberapa balita yang menangis kedinginan. Ia membagi selimut. Beruntung sore sebelumnya kiriman itu datang. Sehingga ia bisa langsung membagikannya. Kecemasan itu yang membuatnya memiliki kekuatan lebih. Entah darimana kekuatan itu.
Hingga terkadang ia lupa akan kesehatan dirinya. Hingga ia merasa lemas dan merasa harus membutuhkan istirahat.
"Hani, tolong gantikan aku ya. Memasak nasi untuk mereka. Aku agak pusing."
Hani mengiyakan dan menyuruhnya istirahat. Tetapi sebelumnya Hani menyuruhnya untuk makan dulu beberapa kue yang ada di toples atas meja makan. Atifa sering lupa makan, hingga ia menjadi lemas. Mereka berdua memang saling menjaga. Bahkan melebihi seperti saudara.
"Han, kamu juga jangan lupa makan, agar kuat. Bukankah jika kita kuat akan banyak hal yang diperbuat untuk membantu mereka?"
Hani mengangguk.
***
Satu bulan kemudian.
Atifa memandang seluruh ruangan. Kamar ini masih sama seperti tahun lalu, ketika Atifa membantu mamanya merapikan dan membersihkannya. Sebelum akhirnya ia memutuskan berangkat ke pulau terpencil jauh dari rumahnya.
Tempat tidur berukuran 120x200 di sudut kamar, berseprai motif bunga-bunga pink dan memiliki dua bantal dan satu guling dengan sarung warna senada. Seprai favoritnya. Mamanya sengaja memasang demi menyambut kedatangannya.
Kemudian ia tertidur pulas. Tanpa sempat membersihkan wajah terlebih dahulu. Bahkan tas koper dan beberapa tas jinjing masih tergeletak di sisi tempat tidur.
Mama Atifa menengok ke kamar. Dan membiarkan ia beristirahat. Karena pasti kecapekan setelah satu bulan penuh sebagai relawan. Wajah Atifa tampak berseri, meski ia sedang tidur.
Sedang di layar ponselnya yang ia letakkan di meja rias dekat pintu kamar mandi dalam, baru saja berkedip.
Kak Atifa, cepat pulang ke sini ya. Angga kangen bermain dengan kakak.
Semarang, 15 Januari 2019.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI