Hem, bagaimanakah rasanya? Apakah sedap dan segar?
Dari aromanya tercium bau sedap. Rempah-rempah seperti jahe dan serai dominan. Kuah kaldu ayam kampung juga mempengaruhi aroma. Lebih gurih. Lalu, bagaimana rasa toping yang menjadi ciri khas soto ini? Apakah keras? Oh, ternyata tidak. Toping ini empuk dan renyah! Pas cocok deh.
O, jadi ini, mengapa dinamakan soto klethuk? Karena pada saat kita menyantapnya, akan berbunyi klethuk-klethuk dari singkong goreng garing tadi. Hahaha... Mantap. Memang bikin galo, seperti nama warungnya, Pak Galo.
Baru kali ini saya menemui soto yang disajikan dengan singkong goreng garing. Sedap dan lezat. Apalagi ditambah dengan lauk daging empal empuk, perkedel dan tempe goreng. Alhamdulillah kenyang.
Jangan takut membayar mahal di warung ini. Karena makanannya terjangkau oleh kantong. Empat orang hanya membayar delapan puluh lima rubu rupiah. Murah meriah. Tertuntaskan rasa lapar dan puas.
Recommended.
Setelah selesai makan dan pekerjaan saya rampung, saya melanjutkan perjalanan, pulang ke Semarang. Tetapi saya mampir dulu mengunjungi sahabat Kompasianer dari Blora, mbak Yuni Astuti. Beginilah enaknya bergabung di Kompasiana. Salah satunya memiliki banyak teman. Saat berkunjung ke kota lain, ada ampiran untuk berkunjung.
Dengan terpaksa karena ada tanggungan yang di rumah, kali ini saya benar-benar pamit mau pulang. Dan mbak Yuni yang baik hatinya, menjadikan saya kerasan di sana. Hahaha... apalagi mbak Yuni membawakan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Keripik tempe, yang merupakan oleh-oleh khas kota Blora. Terimakasih banyak ya mbak... Saya pamit.
Ciao, Salam,
Wahyu Sapta.
Semarang, 9 November 2018.