Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Senja Baru Saja Memberikan Pelukan

28 Agustus 2018   14:48 Diperbarui: 30 Agustus 2018   19:08 2864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

Memang serba salah rasanya tertusuk panah cinta. Aku tak pernah membayangkannya. Ia datang tiba-tiba. Seperti perahu, terombang ambing ombak di tengah lautan, oleh angin yang datang tiba-tiba. Mencari daratan, tapi tak tahu arah yang di tuju. Kau menuju ke mana? Tanya hatiku. Ke arahmu? Jawabku sendiri sambil bertanya.

Atau angin yang bertiup sepoi, membawa remahan debu, yang membawa pesan. Cinta? Lalu, menujumu? "Ah, aku tak bisa memastikannya," kata dalam hatiku.

Mungkinkah bagai relaksasi rasa, membuat deburan, percikan lalu remahan angin, membawa: cinta. Menujumu?

Ada enam petunjuk, jika semua rasa itu mengarah kepadamu. Aku bahkan tak mampu mencernanya, hingga aku bagai tak mempercayai diriku sendiri.

Pertama, ketika tiba-tiba saja, saat aku pergi ke pantai, bertemu kamu.

Saat itu... di sini. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang menyeruak dari dalam hati. Rasa pilu dan membuat sedikit nyeri. Aku seperti mengenalmu lama. Tapi aku belum pernah sekalipun bertemu. Hingga detik ini. Seperti de javu, aku bagai mengulang kembali sebuah pertemuan. Entah di mana. Sama persis. Tetapi, aku bahkan belum tahu siapa namamu. Kamupun seperti mengenalku. Dan jelas tampak dari rasa heran raut wajahmu.

"Apakah aku mengenalmu?" tanyamu.

"Entahlah, mungkin kita pernah bertemu sebelum ini. Tetapi, di mana?"

Kau menggeleng keras. Jelas saja kau tak mengenalku. Kita belum pernah bertemu.

Kedua, ketika tiba-tiba saja aku bertemu denganmu kembali. Di sebuah angkutan umum. Yang dikemudikan oleh sopir setengah baya berambut putih hampir memenuhi kepalanya. Penumpang hanya ada dua, aku dan kamu. Padahal perjalanan masih jauh. Hingga tiba tempat yang kutuju, hanya ada aku dan kamu. Aku turun. Kau juga turun. Sopir setengah baya yang berambut putihpun berkata, "Cieee.. kompakan. Kalian mirip. Pasti berjodoh."

Tentu saja pipiku memerah. Bahkan saat itu kita belum saling menyebutkan nama.

Akhirnya pecah juga. "Kenalkan, aku Celo." katamu.

Ketiga, bertemu ketika acara lomba tujuhbelasan di kampung. Jadi, sebenarnya kita bertetangga? Aduh, mengapa tak mengenalnya? Memang blok 2 dan blok 4 jauh ya? Padahal dekat. Ya, ya, aku memang jarang keluar rumah, kecuali urusan penting. Seperti mengirimkan paket ke kantor pos. Itupun sangat jarang kulakukan. Selebihnya aku banyak berkutat pada layar laptop dan huruf-huruf. Jika saja mama tak memaksaku untuk keluar rumah mengikuti kegiatan kampung, aku tak akan melakukannya.

"Ayolah Muti, kau harus sesekali keluar rumah. Bagaimana kau mendapat jodoh jika hanya di dalam rumah?"

Zaman milenial. Apa saja bisa kulakukan dari dalam rumah. Tidak harus keluar, dan bertemu orang-orang. Aku menikmatinya. Apanya yang salah? Mama tak pernah merasakannya, jadi ia mengatakannya. Jodoh ada di tangan Tuhan. Jika waktunya bertemu jodoh, akan bertemu bukan? Mama hanya bisa geleng-geleng kepala. "Semaumu lah," kata Mama. Meski akhirnya aku bersedia juga keluar rumah. Dan menemukanmu.

Keempat. Kamu itu bagai bayangan, ya? Mengikutiku kemana saja arah langkahku. Di taman ada kamu, di meja makan ada kamu. Di kaca kamar ada kamu. Di layar laptop ada kamu. Di pembungkus paket, ada kamu. Kamu, kamu, kamu.

***

Ayahnya adalah seorang penting dalam pemerintahan pada masanya. Ia tak pernah meminta untuk dilahirkan dari orang tua yang terpandang. Ia hanya ingin mencintai kekasihnya.

"Ara, kita bertemu hari ini. Di tempat biasa." begitu pesan pada kekasihnya melalui kurir. Apa yang bisa dilakukannya untuk Ara, hanyalah sedikit cara, agar ia bisa menemuinya. Ia telah mempersiapkan segalanya. Termasuk cincin bermata merah maroon. "Aku akan memintanya menjadi istriku. Meski ayah bakalan marah besar."

Ara adalah gadis setempat, yang telah meraih hatinya. Gadis biasa. Bukan dari kalangan elite. Dalam sebuah pertemuan pesta rakyat menyambut panen tebu. Ada sebuah kekuatan yang menarik dirinya agar mengenalnya lebih dalam. Pesona kecantikan alami, kepolosan hati, tak biasa dimiliki oleh gadis lainnya yang ingin memilikinya.

"Axel, bagaimana jika ayahmu tahu, jika kita bertemu?"

"Apapun akan kulakukan Ara. Demi kamu."

"Tetapi aku tak sepadan dengan dirimu. Bagaimana bisa? Darah ningrat yang mengalir di tubuhmu, sedang aku adalah rakyat biasa. Orang tuaku hanya buruh petani tebu."

Tetapi cinta adalah cinta, ketika datang memanggil, akan ada segala cara untuk meraihnya, merengkuhnya. Meski jalannya terjal berliku.

Axel dan Ara. Adalah semisal Romeo dan Juliet. Meski cinta, tetapi harus melalui jalan tak mulus. Ayah Axel tentu saja tak akan merestui cinta mereka. Axel telah dipilihkan jodoh.

Pertemuan yang dilakukan keduanya membawa petaka. Perjanjian mereka berdua kandas. Ayah Axel mengirim orang-orangnya untuk menjemputnya. Di bawa pulang dengan paksa. Meninggalkan Ara seorang diri di tepi pantai. Cincin bermata merah maroon sempat tersemat di jari manis Ara.

Axel, hanya bisa berharap, suatu saat bisa bertemu kembali dengan Ara, gadis yang ia cintai. Selanjutnya ia tak pernah menikah hingga di akhir hidupnya. Makamnya berbau harum bunga setaman.

Sedang Ara, tak diketahui keberadaannya, hingga sekarang.

Kisah cerita cinta mereka menjadi legenda. Tempat pertemuan mereka di sebuah pantai yang dulu masih banyak ditumbuhi pohon pandan duri, dan bakau. Sekarang telah menjadi sebuah tempat lokasi wisata. Sebuah pantai yang indah.


***

Kelima, pertemuan yang sengaja kau buat.

"Muti, kita bertemu, ya. Aku ingin memberikan suatu kejutan. Boleh, kan?"

"Kejutan apa Celo? Jangan kau buat hatiku kalang kabut. Jika kau melakukan itu, aku takut pingsan."

Kamu tertawa tergelak. Katamu, aku membuatmu semakin yakin, bahwa aku pernah bertemu denganmu sebelum ini. Entah di mana. Seperti kataku di awal bertemu.

Lalu sebuah kejutan itu adalah sebuah cincin bermata merah maroon. Hei, aku merasa pernah memakainya. Entah di mana? De javu?

Tiba-tiba matamu berkilat, memancarkan sebuah cahaya. Bling...

"Ara, maukah kau menikah denganku?"

"Axel, aku bersedia. Tetapi bagaimana orang tuamu?"

"Akan aku bawa kau jauh dari negeri ini. Kita mencari tempat, jauh dari jangkauan mereka."

"Oh, Axel, aku mencintaimu."

Lalu tiba-tiba, datang sebuah ombak besar. Membawa kita, entah ke mana. Ombak yang demikian besar, menyapu segala daratan. Segala menjadi gelap. Entah. Apa yang terjadi berikutnya.

***

"Celo... ,"

"Ya Muti,"

"Bolehkah aku bersandar di bahumu?"

"Tentu saja boleh, bersandarlah. Bahu yang kumiliki memang untukmu."

"Celo...,"

"Ya Muti,"

"Bolehkah aku memelukmu hai Celo Axelaxandra suamiku?"

"Tentu saja, Mutiara Pembayun istriku. Kissnya mana, dong?"

Hening. Hanya terbentuk siluet. 

Ini mungkin adalah petunjuk keenam.

Sore baru saja menjelang. Pantai ini memancarkan sinar mentari yang sebentar lagi tenggelam. Senja baru saja memberikan pelukan. Memeluk mentari dalam dekapan erat. Berjanji esok akan datang di sisi lain belahan bumi.

Semarang, 28 Agustus 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun