Hari Sabtu kemarin saya dan teman saya ada urusan ke kota Kudus. Kota yang sering dijuluki kota kretek. Berjarak kurang lebih 50 km dari kota Semarang dan memiliki jarak tempuh satu setengah jam, jika sedang tidak macet.
Sesampai di kota Kudus, saya dan teman saya ini segera menyelesaikan urusan, yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan pusat kota atau Simpang Tujuh Kudus alun-alunnya kota ini.
Selesai urusan, waktu menunjukkan jam makan siang. Perut lapar minta diisi. Lalu teman saya mengajak makan siang. "Kita nyoto yuk," katanya. Saya sih ayo saja. Kudus memang terkenal dengan sotonya. Di kepala saya, sudah terbayang lezatnya nasi soto. Maklum, lagi lapar. Hehehe...
Kata teman saya tadi, ada tempat kuliner yang asik di dekat pusat kota. Namanya Pujasera Taman Bojana. Di sana tersedia berbagai macam jajanan yang  patut dicoba. Dari oleh-oleh khas Kudus, jajanan tradisional hingga kuliner nasi khas Kudus yang enak tentunya, seperti soto dan lainnya.
Di sana banyak penjual yang menawarkan sajian soto. Kita tinggal memilih, warung mana yang hendak dituju. Teman saya memilih warung Masakan Khas Kudus Pak H. Sulichan. Katanya, jika ke Kudus, ia sering makan di sini.
Penjualnya bertanya lagi. Mau yang ayam atau kerbau? Oh, ada dua macam rasa ya? Ya sudah, saya memilih nasi pindang daging kerbau. Wah, jadi makin penasaran. Karena biasanya kan masakan berbahan dasar daging, selalu memakai daging sapi.
Sebagaimana diketahui bahwa, jika jajan di kota Kudus, jarang sekali ada daging sapi. Baik untuk masakan soto, sop atau bakso. Daging sapi ini digantikan dengan daging kerbau. Karena konon zaman dahulu, saat perkembangan agama Islam di kota Kudus, untuk menghormati pemeluk agama Hindu sebagai agama yang lebih dulu ada di masyarakat, maka daging sapi digantikan dengan daging kerbau. Karena sapi merupakan binatang yang dihargai dan tidak boleh dimakan bagi umat Hindu. Dan kebiasaan ini secara turun temurun tetap berlanjut hingga sekarang.
Pesanan datang nggak pakai lama. Sepiring nasi pindang tersaji di depan saya. Hem, nampaknya enak dan segar. Aromanya khas. Nasi dengan daging kerbau yang disiram dengan kuah berwarna coklat dan bersantan. Dan yang menjadi ciri khas dari nasi pindang ini adalah memakai godong so atau daun melinjo! Daun yang sengaja dibuat tidak matang sekali, sehingga masih terasa kres-kres, sangat segar.
Sepiring nasi pindang ini, saat menyajikan ditaruh di atas samir atau beralas daun pisang. Nasi putih, diberi ayam atau daging kerbau, baru kemudian disiram dengan kuah santan yang sudah ada daun melinjo. Rasa kuahnya manis gurih. Hampir mirip kuah nasi gandul ciri khas kota Pati. Tetapi kuah nasi pindang memakai kluwak sebagai bumbu dasarnya, sedangkan kuah nasi gandul tidak memakai kluwak. Mirip kuah nasi rawon, tetapi ia memakai santan. Sedang rawon tidak memakai santan.
Sebagai teman makan nasi pindang ada berbagai gorengan, perkedel, tempe/tahu goreng, otak goreng, paru goreng, sate telur puyuh, kerupuk rambak, hati ampela goreng, telur pindang dan masih banyak lagi. Khusus untuk kerupuk rambak, biasanya akan ditawarkan tersendiri. Penjual bertanya terlebih dahulu. Mau memakai kerupuk rambak? Jika iya, maka piring yang berisi beberapa kerupuk rambak akan disajikan. Hem... cocok deh.
Kucai ini bentuk daunnya seperti rumput, tetapi memiliki aroma khas mirip daun bawang. Saya sudah jarang menemui daun kucai untuk sajian soto, selain di kota Kudus ini. Nasi soto, kata teman saya rasanya segar dan lezat. Khas karena ada irisan daun kucai dan bawang putih goreng, sebagai taburan di atas semangkok soto. Nyumi...
Selamat berakhir pekan, ya.
Salam,
Wahyu Sapta. Â
Semarang, 5 Agustus 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H