Kembali anganku terpental seperti mesin waktu. Ke masa kini. Jam sekarang. Kinan belum datang menjengukku. Layar laptop masih menyala. Kedip-kedip kursor tak berhenti. Ujung-ujung text stagnan. Jemariku hanya terlunglai. Â Harusnya Kinan telah ada di sini. Aku menunggunya.
Tiba-tiba suara pintu berderit. Pasti dia. Pasti Kinan. Benar saja, ia Kinan. Entah mengapa rasaku sedikit lebih ringan, seperti terlepas dari beban yang berton-ton menerpa.
"Ayah, maafkan. Kinan terlambat." katanya.
"Tak apa, yang penting kamu nggak papa." Jawabku cemas dan segera menujunya. Kinan mencium pipiku setelah sebelumnya mencium tanganku. Salim.Â
Ia memandangku. Memegang tanganku. Ada apa? Seperti menyimpan sesuatu. Dan ia sedikit cemas.
"Ayah, kali ini maafkan Kinan. Jangan marah. Hari ini Kinan membawa seseorang. Semoga ayah berkenan. Kinan bertujuan baik. Kinan nggak bermaksud lancang. Kinan berharap ayah senang dan bahagia." Kinan terus saja berceloteh seperti biasa. Tetapi mataku tertuju pada pintu depan.
Seseorang itu...
"Selamat ulang tahun, Aji," sapanya.
Dan suara lembutnya itu, seketika mampu membuat hatiku bahagia.
Semarang, 15 Mei 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H