Tempe benguk adalah makanan tradisional favorit dari Wates Kulonprogo Yogyakarta. Seperti tempe pada umumnya, cara pembuatannya melalui fermentasi ragi tempe. Hanya saja bahan yang digunakan bukan kacang kedelai, melainkan kacang benguk atau sejenis kacang koro yang berbentuk lonjong.
Kacang benguk banyak tumbuh di sekitar Wates. Rasanya, bagi yang tidak biasa, mungkin agak sedikit aneh. Biji kacangnya agak tebal dan besar, terasa kres-kres saat digigit. Lebih sedikit wengur. Tetapi masyarakat sekitar banyak yang menyukai tempe benguk ini dan masih menjadi kegemaran di sana. Bahkan bisa menjadi sajian buat tamu saat berkunjung di sana ataupun untuk oleh-oleh.
Cara mengolah tempe benguk, kacang benguk harus di rendam terlebih dahulu selama dua hari untuk menghilangkan kandungan HCl yang ada dalam biji kacang. Bagi yang tidak pintar cara mengolahnya, tempe benguk ini bisa masih mengandung racun. Tetapi jika pandai mengolahnya, maka tempe benguk bisa menjadi alternatif tempe berbahan dasar selain kacang kedelai. Tentu saja lebih murah harganya.
Tempe benguk yang sudah menjadi tempe, bisa dijadikan kudapan tempe bacem dan dimasak sayur lodeh sebagai tambahan rasa.
Ketika saya berkunjung ke rumah saudara di desa Jombokan Wates Kulonprogo, saya disuguhi tempe benguk, tetapi dimasak besengek. Eh, apa itu?
Tempe benguk besengek adalah sebuah masakan tempe benguk yang diolah dengan menambah santan kental seperti areh yang telah dibumbui opor. Areh tersebut terasa bumbu bawang, ketumbar, daun salam, manis gula jawa dan gurih. Kemudian areh dibalurkan pada tempe benguk yang sudah matang hingga meresap. Rasa wengur dari kacang benguk tidak terasa lagi. Dan sajian tempe benguk menjadi lebih nikmat.
Rasanya lebih lembut dari tempe benguk yang sedikit kres-kres. Memiliki tekstur biji yang agak besar dari tempe kedelai. Seperti memakan kudapan kacang koro goreng, tetapi ini dibikin tempe. Lezat, apalagi dipadukan dengan jadah. Satu gigitan tempe bacem koro, satu gigitan jadah dan lombok rawit hijau. Sedap. Tidak terasa, perut menjadi kenyang.
"Dik, dicoba yang ini. Namanya Growol," kata saudara saya.
"Growol?" tanya saya.
Jadi growol ini adalah makanan berbahan dasar ketela pohon. Pada zaman dulu, growol ini bisa menjadi alternatif pengganti nasi. Karena pada zaman dulu nasi masih mahal bagi penduduk sekitar. Maka mereka menggantikan nasi dengan growol. Rasanya tawar cenderung tidak memiliki rasa.
Cara pembuatannya, ketela pohon dikupas, kemudian dicuci bersih, lalu di rendam hingga tiga hari lamanya. Setelah tiga hari, rendaman dibuang airnya dan ketela dicuci kembali. Kemudian ketela dicacah-cacah menjadi seperti parutan ketela dan dikukus dengan dibungkus daun pisang. Makanan ini bisa tahan hingga tiga hari lamanya, loh.
Cara memakannya seperti kita memakan nasi biasa. Bisa dicampur dengan sayur dan lauk. Tetapi masyarakat sekitar biasanya memakan growol bersama tempe benguk bacem atau besengek. Ada juga yang memakan growol dengan kethak yaitu kudapan yang berasal dari endapan santan kelapa yang dibuat minyak goreng. Layaknya sumber karbohidrat, growol ini mengenyangkan.
Sebenarnya ada lagi makanan khas Wates yang belum tersaji di atas meja saat itu. Geblek. Yaitu makanan berwarna putih dan kenyal. Mirip-mirip cireng rasanya. Tetapi bentuknya seperti angka delapan. Berbahan dasar tepung tapioka. Cara memakannya disertai tempe benguk bacem. Mengenyangkan.
Tetapi saat makan harus dalam kondisi panas atau hangat. Karena jika sesudah dingin akan keras dan alot, susah untuk digigit. Kata saudara saya, penjualnya baru libur tidak berjualan. Tetapi dulu saya sudah pernah merasakan, jadi tahu gambaran rasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H