betapa ini suatu kebetulan, keindahan yang diagungkan olehmu berangsur menyurut. kau akan terus berjalan, sementara aku diam saja. bagai batu yang teronggok pada sebuah tempat indah, meski pedih di rasa.Â
di dera dingin dan angin menerpa, tak mampu menggoyahkan tempatku berada. tak terusik perasaan apapun yang kau bangun dengan sepotong hati yang tersisa. makin membumbungkan rasa pedih ini.
hembusan katamu, yang berkata aku cinta padamu, tapi tak pernah bersemayam lama, hanya sebentar lalu pergi.hei, berhentilah sejenak, aku mohon padamu, berhentilah sejenak, agar aku bisa merapatkan hati, lalu mengatakan pula, bahwa kau adalah belahan jiwa. aku tak akan berpaling darimu.Â
hanya kau. adakah waktu yang tak berbatas untukku, untuk merasa bahagia, saat aku jatuh cinta, saat aku terbang jauh ke sana, hanya denganmu.Â
maka saat aku mengatakan kaulah matahariku, kau cahaya bagiku, saat itulah inginku kau ada di sisiku, di pelukku. tapi serupa angin, mendesau dan tak pernah berbentuk. aku menginginkanmu, hanya saja, kau tak pernah ada.
o, tak sanggup, aku tak sanggup.
Semarang, 15 Oktober 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H