Bahkan ketika cinta telah beranjak sejak lama, saat senja tak lagi memerah, berubah abu-abu, lalu gelap, cinta hanya sebatas angan yang membisu, memangku kerinduan yang tak pernah tuntas. Menunggu jejak aroma telepati yang tak kunjung tiba. Bolehkah cinta berangsur pergi?
***
Bima Sakti
Ia satu-satunya lelaki di ruangan ini. Ruang yang berisi rak-rak buku yang berjajar rapi. Berbagai macam jenis buku ada di sini.Â
Sebingkai kacamata tebal menempel di hidungnya yang sedikit mancung. Kulit coklat pucat menandakan bahwa ia jarang keluar.
Beberapa gadis yang sedang berbincang pelan di ruangan bersamanya. Ada jarak beberapa meter diantara mereka. Suara bisik-bisik terdengar dari arah para gadis, sambil tersenyum yang ditahan, pandangan mengarah pada lelaki itu. Tetapi lelaki itu biasa saja. Ia tahu, mereka memperbincangkan dirinya. Ia sudah biasa mendapatkan perlakuan yang demikian. Wajahnya memang cool mendekati tampan, banyak yang menyukai dirinya. Tetapi ia hanya menyukai satu gadis, bernama:Dru.
Sebagai petugas perpustakaan di kota ini, ia telah lama bekerja di tempat ini. Dua tahun lebih. Telah hapal dengan perilaku pengunjung perpustakaan. Apalagi para gadis pelajar SMA yang kadang-kadang hanya ingin melihat dirinya tanpa meminjam buku. Mereka hanya membaca-baca sejenak, kemudian pulang tanpa membawa buku pinjaman. Tetapi ia membiarkannya. Tak apa, paling tidak, mereka membaca buku, meski hanya sebentar. Bisa menambah wawasan mereka.
Sesekali ia menuliskan sesuatu di bukunya, untuk mengisi kekosongan jeda waktu saat menunggu. Ia sedang merindukan seseorang.Dru.
jejak seumpama laut, hanya berupa riakan air tak nampak,
aku mencarimu hingga ke ujung dunia, tetapi tak bertemu,
telah kusandarkan kapal di dermaga, di mana bisa menemuimu,
namun entah dimana dirimu, hingga aku tak bisa mencium aroma telepatimu
Saat sore telah menjelang, ia segera membereskan semua buku-buku untuk kembali ke tempat semula. Kadang-kadang pengunjung lupa untuk meletakkan kembali. Ketika buku-buku telah rapi, ia pulang. Matahari telah lengser ke barat. Kemudian petang. Jarang sekali ia menemui siang yang terik, karena saat ia keluar ruangan, hari telah beranjak petang.
Ia pulang melewati sebuah taman kota yang berdekatan dengan perpustakaan. Biasanya, ia akan berhenti sejenak untuk menarik nafas. Kemudian menikmati keindahan lampu-lampu taman yang mulai menyala. Duduk di kursi taman kota membuatnya sedikit rileks. Lalu segera ia pulang ke apartemennya dengan berjalan kaki. Hanya limabelas menit berjalan. Sangat dekat dengan tempat ia bekerja.
***
Beludru Naura
Ia tak mengerti, saat terakhir kekasihnya hanya bilang, "Aku pergi untuk kembali Dru, tunggu aku, meski tak nampak di pelupuk matamu. Aku ada, Dru, meski berupa bayangan dan aroma telepatiku."Â
Sekian waktu berlalu, saat ia mencoba bersetia, bayangannya memudar, aroma telepati yang dikirim oleh kekasihnya mulai menipis, tak lagi bisa tertembus, walau dengan kekuatan tujuh belas kali lipat dari yang ia punya. Bagi Dru, kisah cintanya ini adalah sebuah paragraf utama, karena setia yang dimiliki tak mampu memudar. Entah mengapa, ia begitu mempercayai kata-kata kekasihnya, bahwa mereka akan bertemu kembali setelah tiga tahun berlalu. "Dru, percayalah, setialah padaku,"
Ia bekerja sebagai penjaga toko counter handphone. Sejak pagi ia telah berada di toko, melayani pembeli. Beberapa pembeli bersikap baik padanya. Tetapi tak jarang ada yang ketus dan galak. Ia selalu sabar dan memberikan layanan yang terbaik untuk mereka. Pantas saja jika disayang oleh bos dan sering mendapat reward tambahan.Â
Sesekali saat toko sepi, ia menuliskan sesuatu di bukunya. Kerinduan pada kekasihnya, nyaris tak bisa ia bendung. Ia merasa patah hati, meski masih berharap lebih.
sedang aroma telepati itu semakin memudar bagai kabut terpendar oleh panas bumi,
samar meski kadang hanya muncul dalam mimpi yang sempurna ~meskipun tidak~
hari ini, tahun ketiga lebih satu minggu, aroma telepatimu nyaris sirna,Â
dermaga masih sunyi, meski telah kusandarkan kapal sejak tadi.Â
Bima, bolehkah aku tak setia?
Saat sore menjelang, ia pulang ketika matahari mulai ke barat. Beruntunglah ia, masih bisa menemui terang, yang sebentar kemudian menjadi gelap. Senja berangsur datang. Lalu seperti biasa ia akan singgah sejenak ke taman kota yang hanya berjarak dua gedung dari tempatnya bekerja. Duduk di taman kota, menarik nafas panjang. Pikirannya rileks. Ia bisa sejenak melupakan kekasihnya, Bima.Â
***
Taman Kota
Saat sore menjelang, senja akan segera datang. Taman kota selalu ramai. Lalu lalang orang datang dan pergi. Ingin menikmati senja. Beberapa orang duduk berdampingan dengan kekasihnya. Alangkah senangnya. Atau anak-anak berlarian, sedang bundanya meneriaki mereka agar berhati-hati. Semua berharap bahagia. Taman kota telah memberi mereka kebahagian.
Tak terkecuali Bima. Di sampingnya telah ada Bening. Gadis sederhana yang mampu meraih hatinya. Mampu mengalahkan angannya akan Dru, yang hingga kini tak bisa ia temukan. Meski ia telah berusaha untuk itu. Bening telah mengisi hari-harinya. Ia bahagia. Mereka menikmati senja di taman kota.
Sementara itu. Dru bertemu Damuh. Kegigihan Damuh untuk meluluhkan hati Dru, akhirnya berbuah manis. Dru menerima cinta Damuh. Mereka menjadi sepasang kekasih. Damuh yang sabar dan baik hati, mampu melupakan Bima di hati Dru. Senja yang indah, menjadi hari yang membahagiakan buat mereka. Duduk berdua di taman kota, menjadi hal yang menyenangkan.
***
"Dru?"
"Bima?"
"Mengapa di sini?"
"Kamu? Juga mengapa di sini?"
"Siapa dia?"
"Dia kekasihku. Lalu, siapa dia?"
"Dia Damuh."
***
Aku cinta tapi tak mampu melukai.
Aku cinta tapi dia ada di sampingmu.
Aku cinta tapi aku "tak pernah cinta"!
Dru berlari untuk kenangannya, untuk janjinya, yang telah menghuni hatinya selama ini. Dru menjauh dari taman kota. Semakin jauh, hingga tak nampak dirinya.
Bima, tak menjadi kekasihmu, tanda cintaku padamu, kan?
Bukankah Damuh juga mencintaiku? Itu cukup bagiku.
Bima beranjak menuju Bening. Gadis sederhana yang berhati lembut. Tak mungkin ia mampu melukai hatinya. Ia teramat lembut untuk disakiti. Bening adalah kekasihnya. Ia sangat mencintainya.
***
Dan ketika aroma telepati tak lagi memberikan sinyal, pertanda bahwa cinta telah salah arah. Saat cinta datang tak tepat waktu, ia akan beranjak pergi untuk menemui cinta sejatinya. Cinta menemui waktu yang tepat untuk kemudian datang padanya. Cinta tepat sasaran, tak lagi butuh aroma telepati.
Semarang, 6 Oktober 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI