Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Pemilik Hati yang Beku #7

28 September 2017   12:54 Diperbarui: 28 September 2017   15:11 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Sebelumnya:

Aku berencana mengunjungi ayah, berjanji untuk menata ulang rumah yang telah lama aku tinggalkan. Karena rencana itu, aku menolak ajakan Sakti untuk membeli buku. Bagiku, perhatian buat ayah saat ini lebih penting dari sekedar membeli buku dengan Sakti. Toh, ia bisa mengerjakannnya sendiri tanpaku. Tetapi ternyata Sakti membuntutiku hingga ke rumah ayah. Dan ia memergokiku. Lalu aku harus bagaimana?

***

Ini seperti mengerjakan exam. Aku harus menyelesaikannya tanpa salah. Tetapi kehidupan tidaklah sempurna dan manusia tempatnya salah. Jika aku tak sempurna, bukankah ini sesuatu yang tak bisa disalahkan?

Aku mengerti, Sakti sangat marah padaku. Tetapi sesuatunya telah terjadi. Aku hanya bisa meminta maaf padanya dan memberi pengertian, mengapa aku melakukan ini. Tidak mudah bagiku mengungkapkan kepahitan hidup yang ingin aku lupakan. Kejadian masa lalu yang membuat hatiku beku, tentu saja membuatku sedikit trauma. Tentang tante Devi yang seperti devil, tentang penyekapan, tentang pelarianku. Ah, semuanya membuatku sedih jika aku mengingatnya kembali. Aku berusaha melupakan dan membuang jauh.

Tetapi ternyata dalam kehidupan, masa lalu akan terus mengikuti dan tak pernah bisa terlupakan. Kita hanya butuh merelakan agar ia mengikuti tanpa menganggu. Hal itulah yang masih aku pelajari. Tak mudah memang. Aku patut bersyukur karena sekarang dikelilingi orang yang sangat sayang padaku. Meski mau tak mau, aku juga harus merelakan mereka untuk mengetahui masa laluku. Seperti Sakti. Kekasihku. 

"Sakti, andai kamu tahu, betapa beban berat yang aku rasakan pada masa lalu, kau pasti akan mengerti," kataku dalam hati. Tak bisa disalahkan. Sakti memang dalam kenyataan hidup, tak pernah mengalami cobaan hidup yang berat sepertiku. Ia memiliki orang tua yang sempurna sebagai kategori sebuah keluarga umumnya. Ia mendapat kasih sayang yang utuh dari ayah ibunya. Ia juga tak pernah merasakan pahitnya kehidupan. Hidupnya terlalu lurus. 

Uuufff...

***

Beberapa hari Sakti tak menghubungi. Baik lewat telpon maupun hanya sekedar mengunjungiku. Aku memaklumi. Tetapi ini merupakan hal yang berat bagiku. Kerinduan akan sosok Sakti tak bisa kupungkiri. Aku mencintainya. Meskipun kadang ia manja padaku. Sifat kekanak-kanakannya masih sering muncul. Tetapi sekarang Sakti lebih dewasa dari terdahulu. Itulah yang membuatku tetap mempertahankannya sebagai kekasih. 

Aku sudah berusaha menebus kesalahanku dengan menghubunginya terlebih dahulu. Beberapa kali aku menelponnya. Tak diangkat. WA juga belum dibalasnya, padahal aku tahu, ia telah membacanya. Baiklah, tak mengapa, mungkin ia masih marah. Ini salahku. Aku harus bisa menerima, jika ia marah, bukan?

Pekerjaan dekorasi yang semakin ramai, membuatku sedikit melupakan permasalahanku dengan Sakti. Mau bagaimana lagi. Tuntutan profesionalitas memaksa demikian. Aku merasa, bila ini cinta yang sejati, pasti ia akan kembali padaku. Apalagi skripsi yang tinggal bab terakhir. Kemudian uji materi dan ujian skripsi. Cita-citaku sebagai sarjana ekonomi telah di depan mata.

Sakti mungkin juga sedang sibuk dengan skripsinya. Saat terakhir pertemuan, ia telah maju bab dua. Aku selalu mendoakan, agar ia lancar menghadapi skripsi. Entahlah, sedang apa ia sekarang. Ia sama sekali tak mau menghubungiku.

Aku mengingat kembali pertemuanku dengannya. Saat itu, ia menabrakku saat sedang terburu. Akibatnya, buku Sakti terbawa olehku. Itulah awal perkenalanku dengannya. Aku tersenyum. Aku rindu. Ah, apalagi guyonannya yang terasa garing, membuatku semakin rindu padanya. 

Waktu terus berjalan. Tetapi kabar dari Sakti belum tampak juga. Hatiku semakin galau. Berada dalam suatu kegelisahan yang menunggu sebuah jawaban. Sakti seperti sedang menggantungku. Akhirnya aku membuat suatu keputusan. Aku tak bisa lama-lama berada dalam kegamangan.

"Sakti, apabila kamu menerima pesan ini dan membalasnya, maka itu tandanya kamu masih mau menerimaku sebagai kekasihmu."

Terkirim!

***

Dua bulan kemudian.

Sabtu pagi pukul sembilan. Acara wisuda segera dimulai. Hiruk pikuk suasana gedung oleh riuhnya para wisudawan. Ada ratusan mahasiswa yang wisuda kali ini. Aku salah satunya. Aku berada di jajaran mereka yang wisuda hari ini. Ada om Tommy dan tante Hanny di kursi orang tua. Mereka ikut bahagia atas wisudaku. Juga ayah kandungku, yang duduk di samping mereka. 

Setelah kejadian dulu, saat Sakti memergokiku berada di rumah ayah, aku tak mau mengalami hal yang serupa. Aku segera menceritakan hal sesungguhnya pada orang tua angkatku. Syukurlah mereka mau mengerti. Aku berjanji tidak akan meninggalkan mereka, meski aku telah bertemu dengan ayah kandungku. Mereka juga tidak keberatan jika beberapa hari aku tinggal di rumah ayah. Kata mereka, aku harus menghormati ayah, karena ia adalah wali nikah pada saat nanti menikah. Ah, tapi cita-cita menikah masih jauh. Apalagi belum ada yang mau denganku.  Dengan Sakti? Ia masih marah padaku dan tak mau menghubungi setelah kejadian dua bulan lalu.

Jika ini yang dinamakan patah hati, aku sedang mengalaminya. Tetapi, lupakanlah. Aku sedang ingin bahagia. Bersama orang tua angkatku dan ayah di acara wisuda.

Selesai acara wisuda, saatnya foto bersama. Di acara gembira ini aku harus tersenyum. Meski dulu aku berharap, saat wisuda ada Sakti di sampingku. Tetapi aku tak boleh sedih. Move on please... Apalagi melihat wajah mereka  terpancar wajah bahagia. Aku tak ingin merusaknya.

Hari semakin sore. Gedung telah sepi. Area luar gedung juga mulai sepi. Para wisudawan dan pendampingnya sudah banyak yang beranjak pulang. Aku juga bersiap untuk pulang. Ayah pamit terlebih dahulu. Om Tommy menuju mobil, tante Hanny mengikuti. Aku masih sibuk foto dengan Vika teman satu kampusku. Hingga tak terasa ada yang memegang bahuku dari belakang. Aku terkejut.

"Seruni, selamat ya, sudah diwisuda. Bahagia untukmu," katanya. Hei, suara itu. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya! Mengapa hatiku sangat kacau? Mendadak dag dig dug tak karuan. Kemarahan, rasa sayang dan rindu menjadi satu. Benci tetapi cinta? Duh...!

Ia mengulurkan rangkaian bunga mawar merah untukku, sebagai tanda selamat atas wisuda. Tertulis dalam kertas di sela bunga,"Selamat atas Wisudanya Seruniku. Sukses Selalu".

"Terimakasih, " jawabku. Masih dengan tatapan termangu. Sorot matanya, masih sama seperti dulu.

"Boleh memelukmu?" Aku mengangguk pelan.

"Maafkan aku, Runi. Aku sungguh sayang padamu," Ia memelukku sangat erat.

Kemudian hening.

Semarang, 28 September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun