Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Pemilik Hati yang Beku #7

28 September 2017   12:54 Diperbarui: 28 September 2017   15:11 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai acara wisuda, saatnya foto bersama. Di acara gembira ini aku harus tersenyum. Meski dulu aku berharap, saat wisuda ada Sakti di sampingku. Tetapi aku tak boleh sedih. Move on please... Apalagi melihat wajah mereka  terpancar wajah bahagia. Aku tak ingin merusaknya.

Hari semakin sore. Gedung telah sepi. Area luar gedung juga mulai sepi. Para wisudawan dan pendampingnya sudah banyak yang beranjak pulang. Aku juga bersiap untuk pulang. Ayah pamit terlebih dahulu. Om Tommy menuju mobil, tante Hanny mengikuti. Aku masih sibuk foto dengan Vika teman satu kampusku. Hingga tak terasa ada yang memegang bahuku dari belakang. Aku terkejut.

"Seruni, selamat ya, sudah diwisuda. Bahagia untukmu," katanya. Hei, suara itu. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya! Mengapa hatiku sangat kacau? Mendadak dag dig dug tak karuan. Kemarahan, rasa sayang dan rindu menjadi satu. Benci tetapi cinta? Duh...!

Ia mengulurkan rangkaian bunga mawar merah untukku, sebagai tanda selamat atas wisuda. Tertulis dalam kertas di sela bunga,"Selamat atas Wisudanya Seruniku. Sukses Selalu".

"Terimakasih, " jawabku. Masih dengan tatapan termangu. Sorot matanya, masih sama seperti dulu.

"Boleh memelukmu?" Aku mengangguk pelan.

"Maafkan aku, Runi. Aku sungguh sayang padamu," Ia memelukku sangat erat.

Kemudian hening.

Semarang, 28 September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun