Angin sedang cemburu. Sedang desirnya mengoyak-koyak, bagai sebuah balas dendam. Tiba-tiba berbunyi: braaak... Aku tak berkutik.
Akhirnya, luluh juga melihat wajah bayinya. Ia selalu memperlihatkan andalan, agar bisa meruntuhkan amarahku. Lalu dengan senyum menyerigai, ia berkata, "Sayang, bolehkah aku mencium keningmu?"
Tentu saja aku mengiyakan deminya, tanpa memberikan syarat apapun.
Hanya satu hal yang sangat kubenci sekaligus merinduinya, wajah bayi yang dimilikinya! Bagai tak berdosa dan memiliki mata berbinar, seolah mengatakan, cintailah aku!
Baik, bahkan saat ia berkata, "Sesekali aku ingin bertukar posisi denganmu."Â
"Mana bisa?"
"Bisa,"
"Bagaimana caranya?"
"Mulai detik ini, kita bertukar handphone,"
Wajahku pias, mana bisa bertukar handphone? Ia hanya tertawa lebar, lalu memperlihatkan wajah andalannya. Wajah Bayi! Aku tak berkutik.Â
"Gimana? Mau tidak?"
"Semaumu lah!" sahutku.
Lalu dalam hitungan detik, ia meraih diriku dan merengkuhnya, hingga sesak dadaku. Masih tak kumengerti, apa maksudnya.Â
"Aku hanya cemburu!" serunya.
Â
Cemburu? Padaku?
Tapi aku memang patut dicemburui, serigai hatiku!
Â
Semarang, 5 Februari 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H