Sedang matahari belum mulai tampak dari ufuk timur. Seperti tahun sebelumnya, Sang Tuan mengambil sebatang lilin yang tersimpan di laci meja ruangan tengah sambil membawa korek api batang dalam kotak. Lalu sang Tuan menuju tempat meja tadi, menaruh lilin pada sebuah wadah kecil semacam piring mungil, dan menyalakannya.Â
"Tiuplah lilin ini, aku akan mematikan lampunya,"Â
Maka sang Nyonya meniup lilin lalu tersenyum.Â
"Pejamkan mata, aku memiliki hadiah untukmu." kata sang Tuan. sang Nyonya memejamkan mata, berharap bahwa hadiah itu lebih baik dari tahun sebelumnya.Â
"Kamu tahu Nyonya, kuharap kau akan suka dengan hadiahku ini. Nyonya, bukalah matamu. Inilah hadiahku untukmu. Hatiku, Nyonya, hatiku ini kupersembahkan untukmu. Pandangan mataku ini, juga hadiah untukmu." Sang Tuan mempersembahkan hatinya, untuk orang yang dicintainya. Selalu sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hadiah sang Tuan selalu sama. Sang Nyonyapun maklum. Itu cukup baginya.Â
Dan ketika tanda kemerahan mulai tampak dari ufuk timur, tanda pagi akan segera menjelang, Sang Nyonya dan Sang Tuan duduk berhadapan. Mereka tak pernah memikirkan sesuatu yang lain, selain keindahan yang ada di depan mata. Mantra keindahan, telah membuai mereka. Hembusan angin dari luar menyeruak di sela-sela jendela dekat meja tempat mereka duduk berhadapan. Hembusan yang terasa lembut menyegarkan dan berbau wangi bunga kemuning dari taman luar jendela. Lalu sang Nyonya dan sang Tuan tersenyum seperti tahun-tahun sebelumnya, yang akan selalu berakhir dengan senyum yang sama.Â
"Terimakasih Tuan," lalu senyap. Itu juga sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada yang lebih dan tak ada yang kurang.Â
***
^_^ ^_^