Menunggumu membutuhkan dua buku dan satu handphone. Jika aku bosan memencet handphone, aku akan beralih ke buku. Begitu pula sebaliknya. Entah mengapa, aku selalu dengan sukarela menunggumu hingga berjam-jam lamanya. Demimu, kadang aku berbuat melebihi nalarku. Selalu begitu.
"Tunggu aku ya, kamu jangan pulang dulu. Sebentar lagi aku akan meluncur ke tempatmu. Please...." katamu. Dan tentu saja aku mau menunggumu.
Bila sudah bertemu denganmu, hatiku luluh, bagai tak terjadi sesuatu. Hanya ada rasa sayang untukmu. Wajahmu itu, yang telah meluruhkan segala gundahku. Itu cukup bagiku.
"Baiklah, kamu memesan apa?" tanyaku ketika kamu telah berada di depanku. Nah, kan, tak pernah ada kata marah untukmu. Selalu, yang ada adalah kata manis. Dan di akhir pertemuan kita, kamu menutup dengan kata, “Aku menyayangimu, Bim!”
Ya, ya, itu cukup bagiku untuk meyakinkanku, bahwa kamu memang serius padaku.
Sebenarnya aku tak ingin perasaan ini berlarut-larut, dan ingin mengakhirinya saja. Tetapi sejauh ini aku tak pernah mampu melakukannya. Betapa tidak, telah berulang kali aku mencobanya, satu kalipun tak pernah berhasil. Selalu saja, hatiku akan kembali ke kamu.
"Nania, aku ingin bilang sesuatu padamu," kataku padamu. Pada saat itu, kuberanikan diri untuk mengatakan perasaanku. Tetapi apa mau dikata. Bertepatan aku berbicara, dering telponmu berbunyi. Kamu hanya bilang, "Iya Bim, sebentar ya, aku menerima telpon dulu."
Ah, lupakan! Mungkin memang belum saatnya, batinku. Aku kembali terdiam dan berusaha melupakan keinginanku.
***
“Maaf Bim, aku batal ke tempat biasanya. Aku ada acara penting, kasih tahunya aja mendadak, baru beberapa menit yang lalu. Jadi, maafin aku ya, jika tak bisa menemuimu hari ini,”
“Nevermind Nania, urusanmu itu lebih penting. Jangan kawatirkan aku. Aku akan makan siang sendiri, seperti biasanya. Pesanku, kamu jangan lupa makan ya, nanti maagmu kambuh,”