Â
Pukul 04.00 WIB. Bunda sudah bangun. Biasanya juga bangun pagi, jam segini pula. Tapi hari ini adalah hari pertama masuk sekolah buat anak-anak, setelah sebulan penuh libur. Bunda harus mempersiapkan segala keperluannya. Memasak sarapan, agar nanti berangkat tidak dengan perut kosong.
Pukul 04.30 WIB. Saat Azan Subuh berkumandang. Ayah bangun.
"Duh, bunda pagi-pagi sudah sibuk nii.. "
"Iya yah, biasanya juga begitu kan?"
"Iyaaa.. Bunda rajin. Itu kenapa Ayah selalu sayang sama Bunda,"
"Yee.. Ayah, pagi-pagi udah ngerayu. Tolong dong bangunkan anak-anak buat persiapan sekolah."
"Siap bun...."
Bunda sudah selesai memasak. Shalat subuh telah ditunaikan. Hem.. puas rasanya, tinggal menunggu sarapan bersama.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Buat kakak dan adik. Sebenarnya hari ini mereka masih terbawa malas, setelah sebulan libur sekolah. Tapi, sekaligus juga hari yang menyenangkan, karena bisa bertemu lagi dengan teman-temannya.
"Adiiik... cepetan dong mandinya. Banyak yang ngantri niii..."
"Iyaa.. biasanya kakak juga lama kalau mandi!" protes Adik.
"Hus, sudah, nggak usah ribut. Buruan siap. Kakak, ayo mandi cepat. Biar nggak telat!"
"Siap Bun..." kata Kakak sambil menenteng handuk masuk kamar mandi.
"Nggak pakai lama ya, Kak...." seru Bunda. Tapi keburu kakak telah masuk kamar mandi.Â
Keributan terjadi, saat adik bingung mencari kaos kaki. Selalu begitu. Kalau tidak bertanya di mana letak kaos kaki, bukan adik namanya. Padahal juga tempatnya sama dan tetap. Tapi selalu mencari di mana letak kaos kaki. Mungkin maksudnya malas mengambilnya. Untung saja, tadi malam Bunda sudah menyuruhnya mempersiapkan perlengkapan sekolah, seperti buku, dasi dan topi. Kalau tidak, pasti lebih ramai dan ribut.
Pukul 06.00 WIB. Kakak dan adik sudah siap dengan seragamnya. Tinggal sarapan. Mereka selalu sarapan, meski kakak sering ogah-ogahan. Tapi, kata Bunda sarapan itu penting. Agar perut tidak kosong dan nanti saat di sekolah, bisa berkonsentrasi dengan pelajaran. Jadi kakak nurut saja apa kata Bunda.
Pukul 06.15 WIB. Selesai sarapan. Kakak pamit berangkat sekolah. Sudah dijemput mobil jemputan sekolahnya. Menyusul adik. Juga dijemput oleh mobil jemputan. Mereka beda mobil, karena beda sekolah.
Bunda mengantar, hanya sampai depan pintu pagar.Â
Uuff... rumah kembali sepi. Tinggal Ayah dan Bunda.Â
"Ayah, kata pak Menteri, hari pertama kita disarankan mengantar anak ke sekolah. Tapi anak kita kan sudah ABG. Cukuplah mengantar di pintu pagar rumah. Boleh kan, yah?"
"Boleh lah Bun, kita kan sudah pernah merasakan mengantar mereka sampai sekolah. Bahkan menunggu sampai pulang. Ingat nggak? Dulu waktu mereka masih sekolah di TK, bahkan mereka menangis saat ditinggal. Terpaksalah Bunda nunggu di jendela kelas mereka." kata Ayah. Bunda tertawa. Ia jadi teringat. Dulu, saat kakak dan adik masih duduk di kelas TK, tak mau ditinggal pada saat pertama masuk sekolah. Maunya ditunggui sampai waktunya pulang sekolah. Begitu Bunda tak kelihatan dari penglihatan, mereka mencari, hingga konsentrasi mereka buyar. Tapi itu tak berlangsung lama. Begitu mereka mulai beradaptasi dan mengenal teman-temannya, mereka bisa ditinggal. Bahkan malu ketika ditunggui oleh bundanya.
Bunda mengingat semuanya. Memang pada saat itu, ketika anak-anaknya masih kecil, betapa repotnya mengasuh mereka. Tapi ia berkeras untuk mengasuh dengan tangannya sendiri. Tanpa bantuan pengasuh. Ia ingin mengetahui seluruh perkembangan anak-anaknya dalam tiap detiknya.Â
Pukul 06.30 WIB. Bunda masih terbayang nostalgia, saat anak-anak masih kecil.
"Bun, ngelamunin apa sih? Hayooo... ngelamunin sang mantan ya?"Â
"Yee.. fitnah ni Ayah. Bunda kan lagi ngebayangin anak-anak waktu kecil. Sekarang mereka sudah besar. Sudah bisa mandiri dan nggak rewel. Seneng rasanya. Meskipun sama saja, mereka kadang suka ribut mulu. Tapi itulah seninya." kata Bunda. Ayah tersenyum. Ia memandang wajah istrinya yang telah dinikahinya selama belasan tahun tanpa berkedip, hingga Bunda menjadi jengah. Heemm...
"Apaan ih, Ayah!"Â
"Ngomong-ngomong ya Bun. Ayah kan masuk kerja setengah delapan, sekarang baru pukul setengah tujuh. Ayah masih punya waktu satu jam. Enaknya ngapain ya?"
"Ayah kan bisa baca koran,"
"Baca koran kan cukup lima menit, lalu setelahnya?"
"Ayah kan bisa beres-beres kendaraan sebelum pergi, biar aman."
"Kalau itu kan bisa nanti, ayah nanya untuk yang sekarang," kata Ayah sambil mengerdipkan mata. Ini nih, Bunda mulai curiga.Â
Bunda langsung lari ke dapur, sambil menjawab, "Terserah ayaaah mau ngapaiiin.... Bunda mau cuci piriiing...!"
Ayah tertawa lebar. Ia suka bila melihat wajah Bunda yang tersipu malu dan memerah pipinya saat ia menggodanya.
Â
Semarang, 18 Juli 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H