Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perempuan yang Selalu Mengikuti

16 April 2016   22:33 Diperbarui: 16 April 2016   22:49 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Dokumen Pribadi"][/caption]

 

 

Penghujung malam tetap bisu,

Nyenyak dalam buaian rembulan

Halimun pekat tak tersibak meski gerimis tlah usai

 

***

 

Lihatlah! Betapa kota ini berwarna aneh. Abu-abu agak biru suram. Aku tak mengerti, pertanda apakah ini. Aku menoleh ke arah belakang, ke arah sebuah gang yang baru saja aku lewati. Sepertinya seseorang mengikutiku. Entah siapa dia. Tapi ketika aku menengok, tak ada siapapun.

 

Aku sebenarnya tak ingin mengalaminya, tapi kelebihanku ini memaksaku untuk bisa melihatnya. Orang yang mengikutiku seorang perempuan, berwajah menor dengan pakaian jawa. Rambutnya terikat rapi, dengan roncean bunga melati di ujung ikatan rambut. Ada mahkota yang menempel di kepala. Mungkin dia sang Ratu. Entahlah. Cahayanya kehijauan.

 

Tapi aku tak memperdulikannya, karena ia tak mengganggu. Hanya aku agak sedikit risih. Benarlah kehadiran perempuan itu merupakan makhluk yang tak nampak, tapi ia selalu mengikutiku. Apakah aku istimewa untuknya? Apa yang diinginkannya dariku?

 

Keresahan mengalir dari bilik hati

Menjadi sebuah perjalanan panjang menemukan muara

 

***

 

Apakah ada sesuatu dalam diriku? Jantungku berdebar. Aku ingat. Perempuan itu pernah meminta padaku untuk ikut denganku. Dalam mimpiku saat malam yang pekat beberapa hari yang lalu, ia memintaku, agar membolehkan ia bersamaku. Tapi aku mengabaikannya dan menolak permintaannya. Aku tak bisa. Aku tak bisa bila ia harus selalu bersamanya. Aku tak mau. Tapi ia tetap bertahan dengan selalu mengikutiku tanpa kuminta.

 

Sebenarnya aku adalah orang yang sangat rasional. Tak ingin memikirkan hal tentang makhluk yang tak nampak. Tapi aku selalu bermimpi, bahwa kejadian-kejadian yang akan terjadi besok pagi, ada dalam mimpiku. Entah siapa yang membisikiku. Apakah ia perempuan itu? Bukankah aku telah menolaknya? Dan aku berusaha untuk tidak perduli.

 

Akhirnya aku berusaha mencari tahu, mengapa ia selalu mengikutiku. Kebetulan aku bertemu Sigid, teman yang baru kukenal tanpa sengaja. Tiba-tiba ia melihatku heran dan berkata, bahwa aku diikuti oleh makhluk tak nampak, yang berwarna hijau. Ia sang Ratu. Mengapa Sigid tahu? Ternyata Sigid juga sama sepertiku, bisa melihatnya. Tapi saat itu, aku tak sempat bertanya banyak pada Sigid.

 

Hari ini aku menelponnya, agar bisa membantuku. 

 

"Ghea, kamu memiliki cincin berbatu hijau?"

"Iya, ada, pemberian seseorang, aku lupa namanya, sudah agak lama. Kenapa?"

"Cincin itu, lepaskan, buang jauh darimu!" 

Aduh, tentu saja aku menjadi kebingungan, karena cincin itu tak pernah kupakai, hanya kusimpan saja. Sialnya lagi, cincin itu entah di mana, aku lupa menaruhnya.

 

Segera kucari cincin itu. Sampai satu jam lamanya, akhirnya ketemu juga. Di bawah meja, di pojokan yang tak nampak dari luar. Uuff.. syukurlah, akhirnya ketemu. Aku bisa bernafas lega.

***

 

Hari ini, hari kedua, tanpa sosok perempuan makhluk tak nampak mengikutiku. Hatiku lega, saat telah aku buang cincin berbatu hijau, jauh-jauh ke dasar jurang. Ditemani Sigid, karena letaknya jauh dari rumah dan melewati jalan yang cukup berliku. Sigid ikut melepaskan cincin itu untuk kubuang jauh-jauh dariku.

***

 

Saat sepulang kuliah, aku segera masuk kamar. Seharian berkutat dengan materi kuliah membuatku capek. Aku melihat, ada sesuatu di atas meja belajar. Hem, ada paket. Dari siapakah? Tak bernama! Segera kubuka paket kecil dengan sampul coklat. Ketika isi paket itu nampak, ah... sepertinya aku mau pingsan!

 

Cincin berbatu hijau kembali!

 

Sementara suara kerinduan menghentak mencari sang kekasih

Lihatlah!

Kesunyian ini serupa rumah kosong tak berpenghuni

Gelap tak bercahaya

Dan menjelma lorong hitam tiada ujung.

 

~selesai~

 

Salatiga - Semarang, 16 April 2016

Karya Kolaborasi Puisi Prosa antara Yani Handayani (puisi) dan Wahyu Sapta (prosa), untuk Bulan Kolaborasi RTC.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun