[caption caption="https://safadina.files.wordpress.com/2012/03/1329190240178952824.jpg"][/caption]
Berapa kali kamu pernah bertemu Pelangi? Aku hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Yang terakhir, Pelangi menampakkan diri hanya semburat kecil. Saat itu, aku bermain di pantai, sore hari, hujan deras, lalu berhenti, muncullah Pelangi. Indah, aku sangat menikmati keindahannya. Kupandang lekat, hingga hilang dari pandangan.
Sebelumnya, sebenarnya aku pernah bertemu Pelangi. Lebih indah dari sebelumnya. Ketika sedang dalam sebuah perjalanan, di suatu pingiran jalan tanah lapang, gerimis kecil, lalu tiba-tiba ada Pelangi, melengkung sempurna. Indah sekali. Warna warni. Tapi sayang, saat itu aku tak membawa kamera, jadi aku tak bisa mengabadikannya. Pelangi melengkung sempurna terlewatkan begitu saja dan hanya tersimpan dalam memori pikiranku.
***
Hari itu... Sejak pagi hujan bertandang, hingga agak siang, hujan masih memancarkan diri, meski hanya gerimis kecil. Mendung juga masih pekat. Tentu saja dingin menerpa kulit, meski semakin siang semakin berkurang. Aku berharap bertemu Pelangi, saat matahari mendesak paksa agar mendung segera pergi. Aku menengok ke langit, berputar ke segala arah. Aku terpaksa kecewa, aku tak bisa bertemu Pelangi. Entah kemana perginya Pelangi. Ia tak mau menampakkan diri. Sudahlah, akhirnya aku menyerah. Menurutku, mungkin Pelangi malu padaku.
Bruuuk...
Aku bertubrukan dengan seseorang, saat pandanganku kuturunkan ke bumi.
"Maaf, aku tak sengaja," kataku. Sejurus dengan pandanganku, aku terpaku. Wow, keren sekali... Ia, keren sekali!
"Hai," katanya sambil mengusap mukaku dari jauh. Kaget aku dibuatnya. Ia tersenyum ramah, seperti memaafkan kesalahanku, atas keteledoranku menubruknya.
Aku tersenyum simpul, rasa kecewaku agak terkabur. Aku, melihat Pelangi, di depan mataku dan Pelangi itu, ada di dia. Terhiburlah aku, karena tak bisa menemukan Pelangi.
***
Lagi-lagi, ketika aku menginginkan bertemu Pelangi, aku tak bisa menemukannya, padahal Pelangi bisa menghibur hatiku, disaat hatiku sedih dan gundah. Aku sangat menyukai Pelangi. Tapi... ahaii, saat ini sang Pelangi berubah, menjelma menjadi dia, dan aku menamai dia: Pelangi. Tahu tidak, mengapa begitu? Karena aku... aku tak tahu namanya. Aku begitu bodoh melupakan bertanya siapa namanya. Saat kami berjumpa dulu, saat aku menubruknya di selasar antar kelas. Aku memang hanya sekali bertemu, tapi aku tak bisa melupakannya.
Nah, mengapa bisa kebetulan, aku bertemu dengannya. Itu dia! Bagai sebuah radar, sinyalku menggemuruh memberi tanda. Tapi, untuk saat ini, tentu aku tak menubruknya, karena aku sedang tak menghadap ke langit mencari Pelangi. Aku tersenyum, ia tersenyum. Bahagia rasanya.
“Hai, namaku Ibam, kelas MIPA4. Kamu Ratih?” aku mengangguk. Kok ia tahu namaku sih? Duh, pasti ia diam-diam mengamatiku. Tapi segera kutempiskan rasa itu, saat aku sadar, di baju seragamku, ada nama: Ratih. Aku tergelak dalam hati. Senyumku pun dalam hati, aku malu padanya.
“Aku pinjam catatan ya? Boleh? Matematika. Meski kita beda kelas, tapi pasti catatan kita hampir sama. Kita kan kelas 12. Sama bukan?” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Ia mengeryitkan dahi, mungkin bertanya, memang kamu nggak punya suara ya? Segera kujawab, “Iya, nanti aku pinjami.”
Sejak saat itu, hatiku berbunga-bunga, suka. Aku mengkhayalkan, bahwa ia kelak menjadi pacarku. Tapi...
Saat aku bercerita pada Dewi sahabatku bahwa aku menyukai Ibam, mata Dewi terbelalak. Dewi berteriak, ”Hei, tak salah kamu Ratih? Kamu menyukai Ibam? Lebih baik pikir sepuluh kali dulu deh.” Duh, memang kenapa? Apakah aku salah menyukai Ibam? Apakah aku salah menyukai cowok keren dan barusan bilang padaku akan meminjam catatanku? Dewi pasti cemburu.
***
Hari ini, aku terusik dengan Pelangi, menurut berita yang barusan kudengar, Pelangi merupakan simbol suatu kaum yang menurutku tak baik. Katanya Pelangi identik LGBT. Bagaimana bisa mereka mengambil Pelangi yang kusuka dengan seenak hati? Aku sedang bukan termasuk golongan mereka kan jika aku menyukai Pelangi? Aku orang normal, aku menyukai cowok. Tapi aku juga menyukai Pelangi. Aku juga menamai cowok idolaku Ibam dengan julukan Pelangi. Ibam juga normal. Mengapa harus ada simbol yang salah tentang Pelangi? Aku sungguh terusik. Aku sungguh tak suka. Mereka jahat telah mengambil Pelangi kesukaanku. Tidak adil! Ah, biar saja, aku tetap menyukai Pelangi. Biar saja mereka begitu, asal aku tidak begitu.
Pagi ini, di hari Minggu yang mendung, berangsur cerah, matahari tampak terang. Tadi malam hujan deras, kemudian reda. Bulir-bulir air sisa embun tadi malam masih nampak di dedaunan. Ibam menemuiku. Ia sengaja main ke rumah dan menyeretku ke sebuah lapangan dekat rumah. Katanya, ia ingin memperlihatkan sesuatu. Kemudian, setibanya di lapangan, ia menunjuk sesuatu di arah pukul sepuluh. Wow, selengkung Pelangi!
Aku takjub. Mulutku ternganga demi melihat Pelangi itu. “So beautiful!” seruku. Hingga aku melupakan Ibam yang ada di sebelahku. Ibam memakluminya, karena aku sering bercerita padanya, bahwa aku sangat menyukai Pelangi.
Barangkali butuh waktu lima menit, aku melupakan keberadaannya, hingga... ia memanggil namaku, “Ratih, aku ingin mengatakan sesuatu.”
Aku menoleh ke arahnya, dengan isyarat bertanya. Oh, Ibam ternyata berwajah sendu. What happen with you?
“Ya Ibam, kamu pengin ngomong apa?”
“Aku tak akan ngomong panjang, beri aku waktu, lima menit saja.”
“Iya, kamu ngomong aja Ibam.” Tapi mataku tak beranjak dari melihat Pelangi.
“Ratih, aku... ah, sudahlah besok aja ngomongnya.” Hatiku berteriak lega. Aku sengaja tak melihat wajahnya, aku sengaja hanya melihat Pelangi yang aku suka. Duh, bila saja ia tahu maksudku, semoga ia tak marah.
“Baiklah... nggak papa Ibam bila kamu nggak jadi ngomong, aku tunggu sampai kapanpun kamu mau,” kataku sambil tetap menatap Pelangi.
“Kita pulang yuk...”
“Okey...”
Dan pagi ini, aku melihat Pelangi karena Ibam. Ibam menemukan Pelangi buatku. Hem, sebenarnya kejadian tadi saat aku membiarkannya, dan aku berpura-pura dengan tak menanggapinya berbicara, bukan aku tak tahu, bahwa Ibam ingin menembakku dengan mengajakku melihat Pelangi. Ada sesuatu yang menyebabkannya. Aku tak bisa menerima cintanya. Aku akan ujian, Ibam juga. Tak boleh bercinta dulu kata Mama. Aku patuh Mama. Aku sengaja berpura-pura, agar Ibam urung menembakku hari ini.
Selesai ujian nanti, aku akan lebih memperhatikan Ibam. Jadi, bila dulu Dewi melarangku untuk tidak menyukai Ibam, itu karena Dewi juga sayang kepadaku sebagai sahabatnya, agar aku tak jatuh cinta di saat mendekati ujian sekolah. Dan sekarang, waktunya hanya untuk sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H