Barangkali butuh waktu lima menit, aku melupakan keberadaannya, hingga... ia memanggil namaku, “Ratih, aku ingin mengatakan sesuatu.”
Aku menoleh ke arahnya, dengan isyarat bertanya. Oh, Ibam ternyata berwajah sendu. What happen with you?
“Ya Ibam, kamu pengin ngomong apa?”
“Aku tak akan ngomong panjang, beri aku waktu, lima menit saja.”
“Iya, kamu ngomong aja Ibam.” Tapi mataku tak beranjak dari melihat Pelangi.
“Ratih, aku... ah, sudahlah besok aja ngomongnya.” Hatiku berteriak lega. Aku sengaja tak melihat wajahnya, aku sengaja hanya melihat Pelangi yang aku suka. Duh, bila saja ia tahu maksudku, semoga ia tak marah.
“Baiklah... nggak papa Ibam bila kamu nggak jadi ngomong, aku tunggu sampai kapanpun kamu mau,” kataku sambil tetap menatap Pelangi.
“Kita pulang yuk...”
“Okey...”
Dan pagi ini, aku melihat Pelangi karena Ibam. Ibam menemukan Pelangi buatku. Hem, sebenarnya kejadian tadi saat aku membiarkannya, dan aku berpura-pura dengan tak menanggapinya berbicara, bukan aku tak tahu, bahwa Ibam ingin menembakku dengan mengajakku melihat Pelangi. Ada sesuatu yang menyebabkannya. Aku tak bisa menerima cintanya. Aku akan ujian, Ibam juga. Tak boleh bercinta dulu kata Mama. Aku patuh Mama. Aku sengaja berpura-pura, agar Ibam urung menembakku hari ini.
Selesai ujian nanti, aku akan lebih memperhatikan Ibam. Jadi, bila dulu Dewi melarangku untuk tidak menyukai Ibam, itu karena Dewi juga sayang kepadaku sebagai sahabatnya, agar aku tak jatuh cinta di saat mendekati ujian sekolah. Dan sekarang, waktunya hanya untuk sekolah.