Tak berselang lama, datang Wildan, memberiku harapan, menembakku tanpa pernah kuduga. Ia terpikat oleh kepandaianku merangkai kata dan aku mengaguminya karena kepiawaiannya menggoreskan kuas di atas kanvas.
Banyak orang heran, mengapa aku bisa terpikat padanya, sedang aku mulai terkenal sebagai penulis. Lalu, apakah salah, jika ia pun ternyata tak pernah menuntutku berlebih dan mampu membuatku bahagia?
***
Lintang Araning Sekar Langit, nama itu mengisi banyak toko buku di berbagai kota. Itu namaku dan akulah yang mengisi setiap buku yang bertuliskan nama itu. Tapi aku tak pernah mau muncul dan hanya berada di balik layar. Aku sengaja membuat sebuah misteri, agar para penggemarku semakin penasaran denganku. Dan berhasil. Buku yang aku tulis, laris manis dan selalu mengalami cetak ulang. Beberapa kali. Tentu saja semakin menambah pundi-pundi di kantong menebal.
Lalu, seiring dengan itu, Wildan pun semakin tenar dengan hasil lukisannya. Berbeda denganku, Wildan banyak menemui klien, yang menggemari lukisannya. Kadang hingga ke luar kota. Tentu saja, juga semakin menambah pundi-pundi kantongnya.
Setelah melalui pertimbangan panjang dan berliku, kami menikah.
Ada suatu masa, di mana kisah tak perlu diceritakan. Atau mengendap hanya pada satu kisah yang membisu. Suatu masa itu berlangsung, hingga kisah menjadi suatu cerita menarik untuk diungkapkan dan menjadi sejarah. Telah banyak kisah yang aku lalui bersama Wildan. Tak banyak kisah indah, tapi itu cukup membuatku bahagia. Bisa di katakan menjadi sempurna, ketika lahir Masayu, gadis cantik lucu dan pintar. Lengkaplah kisah itu.
Semakin hari Wildan menjadi sangat sibuk, begitu pula aku. Ada yang terlupa, bahwa aku dan dia adalah sepasang kekasih. Memang aku merasakan kerinduan untuk bisa bersama seperti hari sebelumnya. Tapi tuntutan pekerjaan membuatku dan Wildan semakin ada jarak. Wildan tak pernah menuntut apapun dariku, seperti dulu dan seperti biasanya ia. Tapi aku mengerti, bahwa Wildan membutuhkan lebih dari itu. Aku yang lalai.
Tiba-tiba aku menjadi asing, ketika kulihat rambutnya kian memutih. Oh, kemana saja aku selama ini? Ia pun merasa asing, saat melihat kerutan lembut di sudut mataku. Ia sepertinya tak percaya, bahwa aku adalah Lintang yang ia kasihi dulu.
***
“Lintang, “