Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menatap Es Pelangi, Hati Berbunga Mimpi

5 Januari 2016   21:22 Diperbarui: 5 Januari 2016   22:17 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik. Matahari menyinarkan cahayanya yang garang tanpa ampun, meluruhkan keringat yang meleleh di dahi Satriya. Karena itu sedikit membuatnya dehidrasi karena kekurangan cairan. Ia haus. Ditengoknya kanan kiri, barangkali ada penjual es yang bisa menghilangkan rasa hausnya itu. Siang ini memang cuaca sedang cerah, membawa panas yang terik. Padahal biasanya mendung dan berawan, hingga sedikit adem. Di tangan Satriya ada secarik kertas, yang agaknya penting. Ia memang sedang mencari seseorang, yang memberinya kertas itu. Dibacanya sekali isi kertas itu:

tentang catatan itu, kuberikan untukmu, 
bawalah, simpanlah, jagalah, 
suatu saat, setiap waktu, 
kau boleh membukanya, 
untuk bisa jadi peluruh rindu, 
pembuka tahu tentangku, 
aku tak akan sedikitpun menyimpan tentangnya, 
simpanlah, jagalah, 
aku akan segera kembali, 
untukmu dan catatanmu

Bagai sebuah magis, catatan itu mengandung sihir, Satriya harus mencarinya hingga ke beberapa sudut tempat di kota ini. Dan di tempat ini, sinyal dari kertas itu menjadi kuat. Daya tariknya semakin menjadi dan membuat jantung Satriya semakin berdegup kencang.

Deg!

“Mengapa sinyal itu berhenti di sini?” tanya Satriya. Di sebuah gerobak penjual es pelangi, yang tentu saja membuat ngiler Satriya karena kehausan sejak tadi. Satriya memesan satu gelas, es pelangi. Penjual es pelangi tak menjawab, hanya deheman kecil yang nyaris tak terdengar oleh Satriya. Penjual itu juga misterius. Tak nampak wajahnya, tertutup oleh topi yang terpasang nyaris menutup seluruh wajahnya. Serba misterius, tapi Satriya tak patah semangat, karena ia merasa, di tempat inilah arah mula kertas ini berasal. Ia curiga, jangan-jangan abang penjual es itulah yang telah memberinya kertas yang berisi pesan misterius, yang dititipkannya ke Satriya melalui penjual siomay pekan lalu.

“Bang, berapa harga es pelangi satu porsi?” Satriya berusaha basa basi terhadap abang penjual es pelangi.

“Hem..” hanya itu jawaban dari abang penjual es pelangi dan segera menyodorkan segelas es pelangi kepada Satriya. Ia yang sedang kehausan, segera meneguk es pelangi itu, tandas tak bersisa. Segera dibasuhnya mulut yang basah oleh air es pelangi tadi dengan mengunakan lengan baju.

Tiba-tiba, criiiiiing!!!!!

Satriya berada di sebuah ruangan yang luas, bagai dalam sebuah istana. Ia menyebutnya sebuah istana, karena Satriya tak pernah berada di sebuah ruangan yang luas dan sebagus ini. Juga bersih ruangannya. Satriya mengamati sekitar. Mengapa sepi?

Satriya menuju pintu, ia sedikit mengintip ke sebuah ruang, yang agaknya ruang makan dengan meja yang besar. Di atasnya tersaji berbagai makanan yang enak dan mewah. Tetapi matanya tertuju satu fokus, segelas es pelangi! Aduh, di mana-mana ada es pelangi. Tapi di sudut kursi paling ujung tengah, ada seseorang yang sepertinya sedang menunggunya.

“Satriya, duduklah kemari!” kata orang itu. Sepertinya orang itu ramah dan baik. 

“Oh, ia memanggilku? Kok ia tahu kalau aku sedang berada di sini?” batin Satriya. Tapi ia mengiyakan ajakan orang itu. Key, ia beringsut menuju ruang makan, meski rasa takut berkecamuk di benaknya. Ia memandang wajah sang pemanggil namanya. Bersinar! Teduh sekali.

“Duduklah! Kamu sudah makan? Makan dulu, baru kita berbincang." katanya.

Lalu Satriya menikmati hampir setiap menu makanan. Ia yang tak terbiasa memakan makanan seenak ini, merasa bagai dalam sebuah istana mewah dengan sajian para raja. Baik, selesai sudah acara makan.

"Satriya, hanya orang tertentu yang bisa berada di sini. Kamu termasuk pilihan." Mengembang hidung Satriya mendengar pujian orang itu. "Namaku Prediksi, panggil saja aku om Dik." lanjutnya, yang ternyata bernama Prediksi.

Satriya manggut-manggut dan bertanya dalam hati, mengapa ia berada di tempat ini. Om Dik menatapnya tajam, seperti sedang menyelidiki sesuatu.

"Satriya, aku melihat aura positif di masa depanmu. Itu bila kamu mau berusaha dengan keras, mau belajar dan mentaati aturan yang ada. Kelak kamu akan menjadi direktur sukses. Syaratnya, bila kamu mau berusaha." kata Om Dik. Satriya mengangguk.

***

Blaaarr!!!

Satriya bagai terpental. Pipinya ditepuk-tepuk oleh sahabatnya, Bima, yang ternyata sedari tadi bersamanya.

"Satriya, bangun! Kamu pingsan lama banget. Aku khawatir kamu mati, please, jangan mati!" kata Bima. Satriya bangun dengan wajah kebingungan. Ia melirik Bima dan bertanya, "Di mana aku, Bim?"

"Kita di dekat pasar, sedang memesan es pelangi, lalu tiba-tiba saja kamu pingsan. Mungkin kamu kehausan hingga pingsan. Kamu sudah baikan?" Satriya mengangguk tetapi ia masih kebingungan. Ia melirik tangan kanannya yang menggenggam selembar kertas. Dan ketika ia membukanya, kertas itu bertuliskan:

diammu hampir saja membuatku takut,

bukan karena aku tak mempercayaimu,

tapi ingin kujelaskan padamu,

aku tak mampu untuk mencerna semua apa yang ada didepanku,

semua begitu cepat,

menenggelamkan diriku dalam lautan kegamangan,

berbaris segala rasa berjajar memburuku,

meminta semua keakuanku untuk meliriknya,

satu per satu memamerkan dirinya,

dan ketika aku tak mampu lagi untuk menangkap isyarat itu,

kau terdiam membisu,

Al, sekali lagi,

diammu membuatku takut, sekaligus hilang akal.

(mungkin suatu saat kau akan mengerti maksudku)

 

Al? Siapa Al? Duh..

Satriya memejamkan mata, akankah ia bertemu kembali dengan Om Dik? Secepat ini? Oh.. tidaaaak!!!

***

Semarang, 5/01/16

Catatan: Cerpen ini dibuat untuk menjawab tantangan #fiksiilustrasiRTC (fiksi ilustrasi Rumpies The Club)

Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun