Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Patah Hati Oleh Politik

28 November 2015   14:27 Diperbarui: 28 November 2015   14:56 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Mungkin hampir setiap orang pernah merasakan patah hati. Patah hati toh tidak harus melulu oleh cinta. Patah hati bisa karena berbagai hal, misalnya patah hati karena pekerjaan. Kita diduakan oleh rekan kerja, atau kalah dalam persaingan dalam jabatan tertentu. Itu namanya patah hati. Rasanya sakit dan seperti tertusuk sembilu, layaknya patah hati. 

Atau yang baru trend saat ini, patah hati karena politik, yaitu kalah dalam persaingan politik. Mereka yang telah mati-matian, mengorbankan segala yang dimilikinya demi mencapai tujuan hatinya, layaknya orang sedang jatuh cinta, mereka mendamba kekasih hatinya. Dalam berpolitik mereka banyak mengorbankan segalanya. Waktu, biaya, pertemanan dan lain sebagainya. Padahal kita tahu, dalam dunia politik, untuk mencapai suatu kesuksesan berpolitik, masih dalam taraf kira-kira, raba-raba, prediksi, yang belum tentu terlihat hasilnya. Hanya satu yang didambanya, kesuksesan dalam berpolitik seperti yang diinginkannya. 

 

Dalam Pilkada serentak yang akan diselenggarakan tanggal 9 Desember 2015 nanti, para calon pemimpin daerah telah melakukan kampanye, baik kampanye di dunia nyata maupun kampanye di dunia maya. Masing-masing mempromosikan diri, bahwa merekalah yang paling baik. Dalam melakukan kampanye, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Banyak calon pemimpin daerah yang menggandeng rekanan atau teman atau pengusaha atau apalah, agar mendukung pemilihan dirinya sebagai calon pemimpin daerah. Dan itu pasti akan ada perjanjian khusus, yang notabene harus dijalankan saat mereka terpilih nanti. (Unsur inilah yang mungkin banyak memicu KKN di Indonesia, dengan alasan yang bermacam-macam.)

Bukankah kita semua tahu, politik itu seperti angin yang berhembus, kadang jelas hembusannya, kadang separo jelas dan kadang sama sekali tak jelas. Kadang manis bagai brownis, kadang pahit seperti jamu. Tak jelas mana kawan dan mana lawan. Okeylah, bagi yang memperoleh suara tinggi, akan merasa di atas angin. Tapi bagi calon pemimpin daerah yang memperoleh suara sedikit, bagaimana rasanya? Seperti patah hati!

 

Yang lebih ekstrim, bagi calon pemimpin daerah yang kalah dalam persaingan politik bisa merasakan kekecewaan yang mendalam hingga menggoncangkan jiwanya, lalu ia bergumam yang tak jelas dan harus membutuhkan perawatan khusus oleh ahli terapis jiwa. Tragis sekali. (Semoga tidak akan pernah terjadi.)

Maka untuk menjadi seorang calon pemimpin daerah yang notabene jatuh cinta pada politik, hingga ia selalu berusaha untuk menjadi kekasih dari politik itu, harus memiliki jiwa yang tangguh. Jiwa yang mampu menerima kenyataan antara menang dan kalah. Karena dalam berpolitik, hanya ada dua hal, yaitu kalah atau menang.

 

Bagi calon pemimpin daerah, baik yang menang ataupun yang kalah, harus siap lahir batin. Untuk pemenang Pilkada, harus siap mengemban amanat rakyat yang memilihnya, agar tak melenceng dari janjinya saat kampanye. Siap menjalankan tugas yang terbebas dari berbagai macam KKN dan unsur-unsurnya. Bersih dan mampu mengembangkan daerah yang dipimpinnya, sehingga daerah menjadi lebih maju dan bermartabat.

 

Sedang bagi yang kalah, harus juga siap lahir batin menerima kekalahannya, karena harus siap atas lenyapnya seluruh pengorbanan “harta dan pertemanan”. Karena kita tahu, biasanya yang kalah akan ditinggalkan oleh teman/rekan yang dulunya pro menjadi tidak pro. (Tidak semua sih, tapi biasanya seperti itu.)

Nah, begitukah politik? Mematahkan hati banyak orang? Auk ah, gelap! 

*_*

 

Semarang, 28/11/15

Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun