Nadya
Dear Alfian, aku menulis pesan ini dalam rentang waktu, dalam sebuah hamparan udara. Kusebar semua di setiap celahnya. Dari waktu ke waktu semakin penuh dan penuh. Tak satupun yang bisa lolos dalam jeratan penaku agar bisa tertulis di pesanku. Utuh penuh. Hingga pada puncaknya aku dalam taraf lelah, bosan, dimana aku tak melakukan apa-apa. Aku tak menuliskan apa-apa, bahkan tak sebersitpun kata ada difikirku. Semua datar dan senyap. Aku sangat menikmatinya. Aku terlelap, dalam keindahan kesunyian. Hingga tiba-tiba, sebuah sapaan lembut mengejutkanku. "Sayang, kau semakin cantik" , dekat sekali, hingga menggetarkan hatiku. Aku terjengah, terpaku, menatapmu, bagai menari-nari anganku. Kulipat lagi penaku, kubiarkan terbungkam, terhenti, hingga pesan itu tak sampai padamu. Dalam imajinasiku, kau indah dan tak berubah. Kau tak pernah salah, hanya jiwa mudamu yang belum mampu mencerna segalanya hingga muncul keputusan yang salah. Aku berusaha menyimpannya, agar imajinasi tentangmu tetap indah, tetap kukagumi, semuanya seiring dengan waktu. Tak bisa kusalahkan pula, ketika seiring dengan waktu, kau tetap mengagumiku, seperti juga aku mengagumimu. Apa adanya, tanpa ada suatu perjanjian sebelumnya. Seiring dengan waktu, ketika terungkap segalanya, aku tetap mengagumimu, seperti halnya kau mengagumiku. Selamat tinggal Al, seperti yang kubilang, aku tetap mengagumimu.
Pesan yang terlanjur kutulis, menari-nari di udara, memohon, sendu, tapi aku pura-pura tak mengetahuinya.
******
Alfian
Dear Nadya, maafkan aku telah mengecewakanmu. Aku sebenarnya tak bermaksud membuat hatimu terluka. Tapi pada saat itu aku harus membuat suatu keputusan yang sebenarnya aku tak berdaya untuk memutuskannya. Pada saat itu tanpa sepengetahuanmu, orangtuamu menemuiku. Mereka memintaku untuk menjauhimu. Aku tak berani menolaknya karena rasa sayangku padamu. Mereka telah menjodohkanmu dengan pilihan orangtuamu. Mereka memintaku dengan baik-baik, bahkan memohon padaku agar tak menceritakan ini padamu. Aku tak berdaya, benar-benar tak berdaya. Kau tahu, pada saat itu, begitu hancurnya jiwaku hingga aku tak mampu lagi untuk melihatmu, meski untuk kenangan yang terakhir kalinya. Aku memilih pergi tanpa sempat untuk berpamitan padamu, bahkan memang sengaja tak berpamitan padamu. Maafkan aku Nadya, maafkan aku.
Pesan ini kutulis dalam bukuku, tetap kusimpan dan kulipat rapi dan kututup rapat. Aku tetap mengagumimu, seperti saat dulu kita pernah bertemu.
*****
Taman Kota
Taman kota kini sepi, sebuah kursi panjang putih kosong. Dulu pernah ada yang mendudukinya setiap sore. Kini tak ada lagi. Lalu di sebuah pohon Tabebueya di sisi kanan kursi, terukir sebuah tulisan, Nadya dan Alfian, cinta abadi untuk selamanya.
******
(9/9/14)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H