Tiba-tiba gelombang kesunyian melandaku. Pikiran pertamaku adalah, “Mengapa aku tadi tak mencegahmu? Bukankah dengan begitu kamu akan tetap tinggal?” Terlanjur! Sekeras apapun aku memanggilmu, kamu tak akan mendengarnya. Aku terlanjur membuatmu sakit hati. Kamu menjauh dariku. Aku menyesali semua ini. Andai saja aku tadi lebih lembut, maka tidak akan membuatmu marah dan ngambek.
***
Aku berpikir, “Aku bermimpi bertemu denganmu. Kamu berkata padaku bahwa kamu akan tinggal. Aku akan senang sekali.”
Aku menatap langit-langit kamarku, aku hanya bermimpi, di siang bolong, karena hari ini matahari masih meninggi, meski telah bergesar agak ke barat. Aku tertidur tadi, selama memikirkan dirimu, sepulang sekolah. Tapi kamu tetap dalam keputusanmu, menjauh dariku. Sampai menit ke 360, kamu sama sekali belum menyapaku. Ini rekor yang paling lama kamu marah padaku. Ini terasa lama.
Bip! Lampu handphoneku berkedip. Aku berharap itu darimu. Uh, bukan, dari Angki, teman main sepak bola, mengajakku untuk bermain sore ini. Aku menjawab, aku baru tak ingin bermain sepak bola. Angki menjawab, sudahlah, aku mengajak Joe saja. Nah, itu lebih baik, karena kulihat Joe baru saja bersemangat dan getol bermain sepak bola, kemarin ia mengatakan itu padaku.
Ups, lagi-lagi pikiranku ke kamu. Rani Oktariani Kusuma Wijaya. Gadis kelas XI Mia 4. Sebenarnya apa sih yang membuatku jatuh hati padamu? Kuncir ekor kudamu? Atau kacamata tebal minus empat? Atau karena kamu yang selalu perhatian padaku? Bukan. Ada sesuatu yang membuatku selalu memperhatikanmu dan aku suka. Senyum manismu! Ya, senyum manismu itu, menimbulkan cekung kecil di pipi sebelah kiri. Hanya satu cekung itu, karena pipi kananmu tak memiliki cekung. Lesung pipit.
Bip! Lampu handphoneku berkedip kembali. Please, aku harap dari kamu. Telah sepuluh pesan aku kirim padamu, tapi belum satupun yang terjawab. Pesan itu berbunyi, “San,”
Hanya itu. Tapi itu darimu. Itu cukup membuatku amat lega. Itu pertanda, bahwa kamu sudah tak marah dan ngambek lagi padaku. Itu di menit ke 375. Oh, kamu akan tinggal, dihatiku kembali, aku bersorak, huraaii.
***
Esoknya, kita bertemu. Tapi kamu belum menampakkan senyummu. Kamu masih manyun. Aku tentu saja tak berani menggodamu, bila dalam keadaan demikian. Jangan-jangan, nanti kamu ngambek lagi dan aku sedih, karena tak bisa melihat senyum lesung pipitmu di pipi sebelah kiri kembali. Aku sangat hati-hati. Hingga kamu berkata, “San,”
Ahai, ini pertanda kamu sudah tidak marah dan ngambek. Aku bisa melihat senyum lesung pipitmu di pipi sebelah kiri.
“Rani? “