Mohon tunggu...
Ismail Wahyudi
Ismail Wahyudi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

SEORANG YANG MENGEJAR MIMPI DAN BERLARI MENDEKATI PINTU KESUKSESAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Gunung pun Bergemuruh

13 Februari 2014   11:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari minggu, tak ada lagi sekolah. Libur seharian penuh terasa amat menyanangkan bagi setiap anak sekolahan. Sesekali terdengar lengkingan suara kokok ayam jago. Begitu nyaring dan sempurna walaupun subuh telah usai. Amir menguap pelan, ternyata sholat subuh tak menghilangkan kantuknya. Adik sekaligus saudara kembarku itu mulai masuk kedalam kamar. Naik ke atas ranjang, selimut bewarna biru berhias bunga tulip segera menutup seluruh tubuhnya. Entahlah apa yang sedang dirasakannya sekarang.

Sebenarnya aku ingin membangunkannya. Mengajaknya berlari keluar rumah, menikmati udara pagi, terik matahari, dan semilir angin yang bertiup lembut. Aku tak pernah lupa kebiasaan setiap hari minggu bersama Amir, ketika aku berkejar – kejaran di sawah, saling melempar kerikil di sungaim, beradu senyum, dan berlomba – lomba menjari perhatian ibu kami. Suasana yang amat menyenangkan, tak kan membuat aku dan Amir lupa akan pengalaman itu. Wajahku sama persis dengan Amir, hanya tanda lahir bewarna coklat di punggung tangnku yang membedakanku dengan Amir. Hari ini tampak ada perbedaan dalam diri Amir. Ia tak lagi bersamaku, ia mengurung diri di kamar. Membiarkan seluruh tubuhnya tertutup selimutbewarna biru itu. Aku tak mau mengganggunya. Kubiarkan dia tidur, mungkin ia merasa kelelahan.

“ Bu aku mau jalan – jalan sebebtar di luar rumah….?” Ucapku pada ibu.

“ Kau tidak mengajak Amir……..?”

“ Dia tidur Bu, mungkin di kelelahan dan ingin istirahat.”

“ Ya sudah. Jangan terlalu siang kalau pulang.”

Aku mengangguk, segera aku berlari keluar dari rumah, membiarkan tubuhku menentang angin dingin di luar sana. Kulihat matahari mulai terbit merah merona, kakiku terus berlari menuju lapangan, rumput – rumput hijau di kakiku terasa basah oleh embun, beberapa temanku sudah memulai permainan, mereka saling berkejaran berebut bola, saling mengoper danb menendang. Aku segera bergabung, membiarkan tubuhku berkeringat dalam permainan sepak bola. Hingga matahari meninggi, rumput – rumput basah mulai mengering, membuatku lelah dan berhenti.

Panas matahari mulai terasa, kubasuh keringat di pelipisku sambil membuka pintu. Tampak ibu duduk di kursi ruang tamu, setelah tahu kedatanganku, tangan ibu melambai – lambai memanggilku.

“ Apa bu………?” aku mulai bertanya pada ibu.

“ Cepat bangunkana dikmu, ajak dia sarapan sarapan.” Ibu tersenyum sambil mengarahkan lirikan matanya ke arah kamarku.

Aku segera melangkah menuju kamar, membuka pintu dan duduk di ranjang di mana Amir masih tertidur.

“ Amir….” Ucapku pelan sambil melihat adikku masih tertutup selimut menghadap tembok.

“ Amir… kau sudah tidur terlalu lama, ayo kita sarapan.” Aku mengeraskan nada suaraku. Tak ada sepatahpun jawaban darinya. Hanya erangan kecil yang terdengar dari telingaku.

“ Amir, ayo bangun. Dasar pemalas, kau sudah membiarkanku bermain sendirian pagi ini.” Aku sedikit merasa jengkel karena tak ada respon sedikitpun dari Amir.

“ Kak Hasan………..” terdengar suara lirih dari tubuh yang terbungkus selimut biru itu.

“ Ia ayo cepat bangun, apa kau tidak lapar…?”

“ Aku tidak lapar kak..!” suara Amir tetap terdengar lirih, seakan ia menahan rasa sakit di dalam dirinya.

“ Hei, kau kenapa….?” Aku membuka selimut yang membungkus tubuh saudara kembarku itu. Kulihat bajunya basah oleh keringat, matanya terpejam, sesekali bibirnya bergetar. Aku tak tahu apa yangterjadi padanya. Setelah kusentuh keningnya, aku merasakan suhu tubunya mendidih, sontak aku memegang tangan Amir seraya berteriak dengan begitu keras. “ Ibu…… cepat kesini Bu………….!”.

Sejak peristiwa itu aku tak pernah melihat Amir tersenyum, seminggu sudah aku berangkat sekolah sendirian. Tak ada lagi canda ataupun tawa Amir di sisiku. Kebahagiaan itu seakan telah berakhir. Amir menderita penyakit beku syaraf. Syaraf – syaraf kakinya telah mati sejak tubuhnya terserang demam satu minggu yang lalu. Dokter berkata pada ibu, bahwa penyakit Amir tak bisa disembuhkan. Kakinya akn tetap lumpuh, dan tak akan pernah bergerak sedikitpun. Aku menangis ketika mendengar berita itu.

Hari ini setelah pulang sekolah aku melihat Amir duduk di kursi rodanya. Ia menatapku, tak ada senyum yang diberikannya padaku.

“ Kak Hasan. Bisakah kaka temani aku jalan – jalan besok pagi.” Ucapan Amir membuatku merasa senang. Sudah beberapa hari aku tak bersamanya.

“ Siiiip Amir. Besok pagi adalah hari minggu, kita pasti akan bersenang – senang.” Aku berharap ucapanku tadi membuatnya tersenyum, membuat bibir merahnya tersungging tanda bahagia. Tapi semua kata – kataku tak ada artinya, ia tetap diam membisu tanpa memberikan senyum padaku.

“ Apakah aku boleh meminta sesuatu padamu…?” Amir meletakkan kedua tangannya ke atas pundakku saat aku duduk di depan kursi rodanya.

“ Ia Amir. Aku akn melakukan apapun yang kau minta.”

“ Kakak akan tetap mau walaupun ibu melarang.”

“ Amir aku akan melakukannya untukmu.”

“ Aku ingin melihat karnafal kembang api bersama kakak minggu depan,”

“ Ia Amir. Kakak pasti melalkukannya untukmu. Kaka janji.” Bibirku bergetar ketika mengatakan itu pada Amir. Saudara kembarku itu telah kembali bahagia, aku mendekap tubuhnya, tak kurasa air mataku meleleh berlinangan membasahi pipi.

Hari ini setelah sholat subuh, aku mendorong kursi roda Amir keluar rumah, merapikan jaket woll hijau yang di pakainya. Aku akan membuatnya bersenang – senang di minggu pagi ini. Mengajaknya berkeliling disekitar danau, melihat indahnya taman bunga matahari, serta beberapa burung gereja yang bernyanyi dan menari disela – sela ranting pohin jati. Amir tertawa ketika melihatku menirukan gaya anjing menggonggong di depannya, begitu pula saat aku menirukan gaya katak melompat, mata Amir berbinar dan bertepuk tangan. Aku selalu berharap bahwa Allah akan tetap menjaga senyum di bibir Amir.

Ketika hari minggu telah berlalu, ibu akn selalu menemani Amir hingga aku pulang dari sekolah, begitu pula saat aku di sekolah, suasana menjadi begitu berbeda. Tak ada lagi yang mengatakan si kembar dalam satu bangku, tak ada lagi canda guru saat Amir berhenti sekolah. Tapi aku tetap bahagia, melihat Amir tersenyum. Walaupun ia tak lagi duduk di sebelahku di bangku sekolah. Setelah pulang dari sekolah ada banyak hal yang akan aku lakukan bersama Amir. Nulai dari nonton televisi, bermain kartu, melihat matahari tenggelam di teras rumah, membaca buku cerita, dan mengambar sesuatu bersamanya. Semuanya akan terasa menyenangkan ketika kulakukan bersama Amir, saudara kembarku yang sangat ku sayangi. Semoga Allah senantiasa melindunginya.

Tak terasa waktu berputar begitu cepat. Besok malam, karnafal kembang api akan terlihat meriah, akan ada beraneka warna kembang api yang bertebaran di angkasa. Sinarnya yang terang tampak seperti bunga yang bermekaran. Membuat semua orang tak berkedip saat melihatnya menghiasi kegelapan malam, menyambut bintang – bintang yang berkelipan. Amir duduk di kursi rodanya, ia mengeluh lelah dan ingin beristirahat. Ibu segera menggendongnya menuju kamar, menutup tubuhnya dengan selimut, dan pergi ke dapur untuk membuatkan segelas susu hangat untuknya.

“ Amir……… ibu bawakan segelas susu hangat kesukaanmu.” Suara ibu pelan tapi terdengar begitu jelas, sementara aku hanya diam dan berdiri di samping ibu.

“ Ibu…. Kak Hasan….. “ suara Amir terdengar lirih dan lemah. Aku dan ibu merasakan ada sesuatu yang terjadi pada Amir. Aku segera menarik selimut dari tubuh Amir, aku sangat terkejut ketika melihat wajahnya begitu pucat. Tubuhnya dipenuhi oleh keringat. Sementara suhu panas tubuhnya sangat tinggi. Ibu segera berlari untuk menghubungi dokter. Kulihat mata ibu berkaca kaca. Mungkin ia merasa sedih melihat kondisi Amir.

“ Amir kau tak apa – apa kan…?” aku menggenggam telapak tangan Amir.

“ Kak....?” suara Amir terdengar serak, seakan ia kesulitan mengatakan sesuatu padaku.

“ Amir kau tidak boleh sakit, kau harus sembuh, ibu sudah mengizinkanku untuk melihat festifal kembang api bersamamu besok malam. Aku mohon Amir, bertahanlah....!” aku tak bisa menahn tangisku ketika air mata Amir berlinangan, aku tahu Amir pasti merasakan beban yang lebih menyakitkan.

“ Kak........!” suara Amir tetap terdengar serak, ia tak mampu melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan padaku.

“ Permisi...” suara dokter bereragam putih datang mendekati Amir, sehingga membuatku menjauh. Dokter itu segera memeriksa Amir, sedangkan ibu menangis di sebelah kananku.

“ Maaf dok bagaimana keadaan anak saya...?” ibu mulai bersuara ketika melihat dokter itu mengernyitkan keningnya saat memriksa Amir.

“ Saya mohon maaf bu... sebagaimana kata saya dulu, penyakit ank ibu sangat sulit untuk disembuhkan, kemungkinan besar kondisinya akan terus seperti ini. Saat ini keadaannya semakin memburuk, seluruh saraf yang ada di tubuhnya telah mati, tak ada lagi anggota tubuhnya yang anggup untuk digerakkan. Denyut nadinya pun semakin melemah, kita semua hanya bisa pasrah pada Allah.” Dokter itu mulai berhenti berbicara.

“ A...akh...kak....ib..” suara Amir semakin serak dan melemah. Nada suaranya benar – benar parau.

“ Amir.................!” aku berteriak keras, kulihat Amir tak lagi berusaha membuka mulutnya untuk berbicara. Tersungging senyuman di bibir merahnya. Pandangannya sayu tepat mengarah kepadaku. Bibirku bergetar menahn tangis, air mataku mengalir begitu deras, aku merasa beton – beton runtuh menimpa tubuhku, rasa ngilu menjalar keseluruh urat nadiku,aku tak sanggup lagi berdiri. Segera ku peluk tubuh Amir, kubisikkan sesuatu di telinganya. “ Amir, maafkan aku jika tak bias memenuhi janjiku, kau lahir kedunia ini bersamaku, tapi kau masih terlalu muda untuk menerima kenyataan ini. Kau harus ingat, mujahid tak kan pernah mati, walaupun dia tak lagi hidup di dunia ini. Aku tidak akan pernah melupakanmu Amir, saudara kembarku yang sangat ku sayangi.” Aku tak lagi sanggup mengangkat tubuhku, aku tetap menangis dan memeluk erat tubuh Amir.

Ibu hanya bias menangis, ia tak mampu mengucapkan kata – kata apapun. Dokter itu mulai berusaha meraba dan mencari denyut nadi di tangan Amir, tapi tetap sia – sia tak ada lagi nafas dari hidungnya. “ Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.” Ku ucapkan kalimat itu di hatiku, kini aku sadar setiap manusia akn menemui sang pencipta. Tak ada satupun manusia yang tau kapan dan dimana kematian datang memanggilnya. Tak bias dicegah dan ditunda. Tak akan pernah menghiraukan yang namanya usia. Kini Amir, saudara kembarku. Dia telah tiada, semoga ada kebahagiaan di hatinya, membuat rasa lumpuh di tubuhnya tak pernah ada, membuat kedua kakinya mampu berlari dengan riang di angkasa. Kuingin dia selalu tersenyum, mengingat segala kenangan yang pernah kami lakukan bersama, dan tak kan pernah aku melupakannya. Dia akan selalu tetap bersamaku, dia hidup dalam senyumku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun