Mohon tunggu...
Ismail Wahyudi
Ismail Wahyudi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

SEORANG YANG MENGEJAR MIMPI DAN BERLARI MENDEKATI PINTU KESUKSESAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan, Bukalah Palestina untukku

13 Februari 2014   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kubuka mataku perlahan, aku tak tahu apa yang telah terjadi. Mataku menatap ke atas, langit masih membiru. Sinar matahari memancar, menyilaukan mataku. Hanya ada segelintir awan yang berarak tertiup angin. Tapi aku tak merasakan kesejukan. Udara masih terasa panas, menembus paru – paru dalam tubuhku. Aku mulai penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi tetap saja tubuhku tak bias bergerak. Kulirikkan bola mataku kekiri dan kekanan, tak ada lagi Abi ataupun Umi di sampingku. Ada banyak sekali darah, beberapa potongan anggota tubuh manusia berserakan didekat kaki kananku. Puing – puing reruntuhan memenuhi daratan di mana aku berbarig. Aku takut, aku ingin berlari, tapi usahaku tetap gagal. Tak sedikitpun kakiku mampu bergerak.

“ Ya Allah mana Abi dan Umiku….?” Hatiku merintih menahan sedih.

Aku hanya tetap terdiam, menutup kedua mataku menghindari tusukan matahari yng menyilaukan.

“ Duaaar……………….. “ suara ledakan menggema ke angkasa, telingaku mampu merasakannya tapi aku tak tahu dimana ledakn itu berada.

Perlahan aku mencoba membuka mata, tak ada lagi mathari, hany da sinar kemerahan dari arah barat. Menandakn matahari hamper terbenam.

“ Duaaaar…………” sekali lagi ledakan dahsyat itu terdengar dari kedua telingaku. Membuyarkan segala kenangan indah bersama Abi dan Umiku. Tak kudengar lagi kumandang adzan dikala malam menjelang. Tak ada lagi lantunan dzikir dan ayat suci Al – Qur’an dari bibir lembut Abiku, tak kudengar pula do’a – do’a Umi di sampingku. Aku merasa kesepian, sedih, resah, marah, benci, semua penyakit hati kurasakan di tepat ini. Mengalhkan rasa sakit dn perih dalam setiap luka di tubuhku. Aku merasa tak ada lagi ada orang yang mau melihat tubuhku.

Kini aku mersa kedinginan, hanya ada bulan dan gemerlap bintang di sekitarku, tak ada satupun serangga yang mau bernyanyi untukku. Deruan angin menerjang seluruh tubuhku yang lemah. Sekali lagi rasa dingin itu merayp menggerogoti tulangku.

“ Ya Allah lindungilah hambamu yang lemah ini.” Pintaku dalm hati.

Malam ini mataku hanya bias menutup dan membuka, mengisyaratkan gerakan sholat yang tak dapat kulakukan dengn sempurna, memohon kepada Allah atas sebuah janji kemenangan di tanah palestinaku ini. Dingin terus menerpa tubuhku yng lemah dan tak bertenaga ini. Dadaku seakan beku, nafasku tak lagi berhembus dengan sempurna, hanya kegelapan yang menggantung dalam mataku. Menutup setiap apa yang pernah kulihat di dunia ini.

*****

“ Prakkk………” aku terbangun dalm tidurku. Suara gelas pecah itubegitu jelas terdengr di telingaku. Kini aku tk sendiri, mataku melirik ke depan, kulihat seorang wanita muda berseragam serba putih membersihkn pecahan gelas di bawah kakinya, ia tak melihatku, tapi aku tetap memandangnya, wajah yang taka sing dalam hidupku, yang selalu tersenyum ramah dan mengajarkan huruf – hurf Al – Qur’an padaku.

“ Kak Latiefa……” aku mulai bersura.

Ia tak mendengarku, barangkali suaraku terlalu lirih untuk memanggilnya. Aku berusaha memanggilnya kembali, tapi ia tetap pergi membawa pecahn gelas itu menjauh dariku. Kini aku sadar aku tak lagi berada di tempat yang menyedihkan itu lagi. Tenda biru ini berdiri tegak melindungiku dari panasnya sinar matahari. Selimut berwarna putih lusuh menutupi seluruh tubuhku. Tak lagi kuhirup aroma busuk bangkai dan darah, tapi hatiku tetap merintih memanggil Abi dan Umiku.

“ Assef, kau sudah bangun….?” Kak Latiefa tersenyum melihatku. Aku hnya mengedipkan mataku padanya, dan terus memandang wajahnya. Kini ada yang berbeda pada wajah kak ltiefa, wajah putih bersih itu ternodai bekas pukulan yng membiru di pipi kirinya. Mungkinkah tentara – tentara biadap itu yang meninjunya. Kulihat jari tangannya berwarna merah memar, aku tak tahu hal buruk apalagi yang menimpanya. Mataku mulai berkaca – kaca. Tak sanggup aku memandangnya terlalu lama. Seakan tatapan matanya menunjukkan penderitaan yang luar biasa, yang menghapus senyuman di bibir merahnya. Ya Allah lindungi kak Latiefa.

Satu minggu lebih aku terbaring di tenda biru ini, membiarkan kak Latiefa menceritakan apa yang terjadi di negeri palestinaku ini. Menceritakan kekejaman tentara – tentara berkulit merah, bom – bom yang selalu menggelegar tanpa henti, nyawa Abi dan Umiku yang tak lagi tertolong, ribuan pohon ghorkot yang selalu ditanam bangsa yahudi, dan banyak lagi cerita – cerita mengesankan yang menusuk kedalam hati. Hatiku menjerit. Aku ingin memenggal setiap kepala orang yang menimbulkan tetor dan kerusakan di bUmi palestinaku ini.

“ Dor.. dor… dor…” desingan peluru terdengar begitu keras, terdengar beberapa orang mulai menjerit. Kak Latiefa tak lagi melanjutkan ceritanya. Wajahnya tampak panic, keringat dingin meluncur dari keningnya.

“ Assef, kau dengar suara peluru itu…..?” kak Latiefa berbisik di telingaku.

“ Ia kak, aku mendengarnya.”

“ Mereka akan dating, tentara kejam itu akan membunuh kita assef. Kau harus bersembunyi.” Suara kak latifa terdengar gugup, seakan ia ingin menyelamatkanku.

“ Dor… dor…….. dor.” Suara tembakan it uterus terdengar, nadanya sama sekali tak bersahabat dan mengancam.

“ Assef, apapun yang terjadi kau harus tetap disini, jangan bergerak dan jangan berbicara sedikitpun.” Kak Latiefa berbisik dan menutup seluruh tubuhku dengan beberapa selimut. Aku menurutinya, aku diam dan tak bergerak. Hanya telingaku yang akan merekam kejadian apa yang akan terjadi.

“ Hey….. kau. Cepat ikut aku.” Terdengar seseorang lelaki memaksa.

“ Lepaskan aku………” kak Latiefa mulai melawan.

“ Sekali lagi kau berontak, akan ku tembak kepalamu.” Suara lelaki itu kembali terdengar mengancam.

“ Gadis cantik yang malang aku akan segera menikmati tubuhmu.” Terdengar suara lelaki lain yang ikut menyahut.

“ Kau mau apa dasar bajingan, apakah kau sudah tak punya otak.” Kak cintia mulai membantah.

“ Diam kau, jangan membuat kami marah dan membunuhmu wanita cantik.”

“ Lepaskan aku bajingan…………..!”

“ Sudahlah ayo cepat bersenang – senang denganku.”

“ Lepaskan aku bajingan, atau akan ku tampar wajahmu. Pluakkk………”

“ Dor… dor… dor…, mampus kau. “

Tubuhku gemetar mendengar tembakan itu. Kuingin membuka selimut yang menutupi tubuhku, tapi pesan kak Latiefa masih mencegahku. Aku tetap diam hingga terdengar suara derap kaki menjauh. Dan kubuka selimut yang menutupi tubuhku.

“ Allahuakbar……..” hatiku merintih melihat kak Latiefa tersungkur di tanah. Darah segar mengucur dari kepalanya. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Tangannya sangat dingin. Tak ada nadi yang berdenyut di pergelangan tangannya. Aku tak menangis tapi air mataku tetap meleleh. Tak ada lagi orang di dekatku, semua orang yang ku sayangi telah pergi meninggalkanku. Hanya ada kenangan dan penderitaan yang mencAbik – cAbik ingatanku. Menimbulkan rasa perih dan mengeluarkan bulir – bulir bening dalam mataku. Tak ada lagi harapan dalam diriku. Orang – orang fasik zionis itu telah menghancurkannya, menebar teror di mana – mana, menjarah setiap jengkal tanah palestinaku, meratakan dan membangun bangunan baru, mengusir setiap manusia muslim yang hidup, menyiksanya dan menembaknya hingga mati, menebar bom di setiap penjuru, merampas ibu dan ayah kami, ingin sekali aku meremukkan tulang – tulang para penjajah itu.

Sore ini matahari bersinar kemerahan, sinar panasnya tak terlalu menyengat. Aku serahkan tubuh kecilku ini kepada Allah. Aku akan berlari menuju pos – pos tentara kejam itu. Sebuah batu merah kugenggam erat dalam tangan kananku. Akan kutantang mereka yang telah merusak bUmi Allah tercinta ini. Tak peduli apa yang akan menimpaku. Tekatku sudah bulat, penjajah harus di singkirkan walaupun harus dengan tetesan darah penghabisan. Kini aku berlari meninggalkan tenda biru di belakangku, menerjang debu – debu berserakan. Menginjak puing – puing reruntuhan. Membiarkan tubuhku tetap maju hingga berdiri tegak di depan pos – pos tentara kejih itu beristirahat. Beberapa tentara bertubuh kekar mulai berdiri menenteng senapan ke arahku. Ku ucapkan takbir dengan keras , kepalan tanganku mengayun cepat untuk melempar sebuah batu dalam genggamanku. Batu itu melaju cepat menghantam dan menembus salah satu mata milik tentara bertubuh kekar itu. Tentara jahannam itu menjerit kesakitan, bersamaan dengan beberapa peluru yang menghujani jantungku. Aku terjatuh, darah mengalir deras dari dadaku. Membasahi baju coklat lusuh di tubuhku. Luka itu terasa begitu perih dan menyakitkan.

Aku tak berteriak ataupun menjerit minta tolong pada siapapun, hanya air mata pedih yang meleleh mengalir begitu deras hingga pandanganku kabur. Tiada lagi Abi atau Umi yang akan mengusap air mataku. Dalam hati aku merintih sebelum ajalku datang.

“ Wahai manusia yang mengaku muslim, mengapa kau tak membantuku mengusir penjajah di depanku ini…………….?” Pandanganku terasa semakin gelap.

“ Allahuakbar……….” Ucapku pelan menahan panas yang membakar jantungku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun