Saya tak habis pikir, jika suatu esok hari saya pulang dengan membawa hasil karangan-karangan cerita gila saya sewaktu masih ng(u)liah, dan karangan itu saya berikan kepada ibu dan bapak. (Catatan kertas keccil , 25 November 2010).
Pagi itu aku dengan keluh kesah hendak akan masuk ng(u)liah. Penuh semangat sekali. Masuk perdana harus pakai sandal jepit, maklum belum sempat beli sepatu dan penampilan semrawut. Sahabat-sahabatku lumayan banyak, setiap pagi datang, kantin ialah tempat kami menunggu datangnya seorang dosen. Aku awalnya tak percaya jika aku waktu itu telah menjadi seorang mahasiswa. Apa itu mahasiswa, sekolah saja aku tak becus. Jika jujur boleh aku tuliskan, aku masuk ng(u)liah karena anjuran beberapa sahabatku. Sebenarnya aku tak sudi melanjutkan perjalanan berliku pendidikan tanah air ini.
Aku lahir dari keluarga sederhana, tempatnya sangat desa. Boleh di kata anak desa masuk kota. Awal mula aku menetap di sekret yang berada di dalam kampus. Lama kemudian aku ngontrak bersama sahabat-sahabatku. Tubuh kurus kering ini sebenarnya pemalu, meskipun sering malu-maluin. Masuk fakultas hukum, harus di cap menjadi produk hukum yang gagal. Tapi aku tak malu, dan bairlah itu semua berlalu. Pertanyaan yang sering menyapa dan membuat gelisah berlipat adalah.
"Heh ndol, kapan kamu terakhir kali ng(u)liah", tanya-tanya gak jelas itu. Maklum, aku memang lalai dalam hal-hal itu.
Dalam waktu ke waktu, aku menghabiskan sisa hidup ini berkumpul dengan sahabat-sahabatku. Setidaknya aku punya cerita dalam riwayat masaku. Hutang uang bertaburan di mana-mana (khusussnya warung kopi), terlampau banyak walaupun masih bisa aku hitung. Aku tak menentukan waktu jika ingin bersambang dengan ibu dan bapak di rumah, maklum aku tak hobi penentuan. Suatu hari aku pulang ke rumah, bapak dan ibu menyambut dengan senyuman, padahal sebenarnya bapak dan ibu tau, jika aku pulang pertanda bekal sudah tak ada. Tapi mereka (bapak dan ibu), tak pernah berkata apa-apa, sungguh sangat mulia bagiku.
"waah,-wahh, juragane wes teko",(wah-wah juragannya sudah datang). Kalimat canda inilah yang sering aku dengar dari bapak. Bapak ku, orang yang sangat hebat yang pernah aku temui. Kedua orang tuaku, tak pernah henti untuk membuat aku menjadi yang lebih baik. Untuk mereka berdua (bapak dan ibu), maafkan anak bodoh mu ini ya, kalian berdua orangtua terbaik.
Sekali lagi, aku ngontrak. Di kontrakan itu, aku menemukan sebuah keluarga. Intinya semua sahabat-sahabatku adalah keluarga. Ini tercermin sewaktu aku lagi sedang sakit. Sahabat-sahabatku tak luput untuk sekedar membelikan obat atau memijat. Sungguh hal yang tak dapat di remove. Entah jika suatu esok hari sahabat-sahabatku pada pulang kampung halaman, mungkin hanya cerita kenangan yang tersisa. Tapi, dapat di pastikan semua tak akan pernah amnesia. Saat makan bersama dalam satu wadah. Masih teringat, saat menggunakan wadah plastic (kresek) berwarna merah, nasi hasil kiriman dan lauk srondeng kelapa muda sisa dari pagi buta. Tapi, itu tak jadi soal, karena kebersamaan adalah moto dalam diri kami.
Kami, bermalam bersama, walaupun kami sering dan suka kejam pada setiap malam. Pejamkan mata sering pada pagi buta, kami suka bercerita di kala malam hari datang. Kesibukan ngopi, dan berkenang-kenang saling bertukar pengalaman. Sahabat-sahabat ku tergolong orang yang rajin, mulai dari beribadah sampai rajin berkencan dengan buku-buku. Lalu aku banyak belajar dan belajar banyak dari hal-hal itu. Meskipun aku tak terlalu tekun dalam hal ibadah tersebut.
"Ayo bangun sudah pagi, nasinya sudah matang, ayo sarapan bareng-bareng biar tambah asyik"!. Begitulah petikan kalimat ajakan untuk sarapan pagi, saat salah satu dari sahabat membangunkan aku dari alas tikar kamar kontrakan. Kami sadar, sarapan pagi jarang kami lakukan, maklum sok sibuk. Malahan kami sering mingisi perut dengan air kopi di pagi hari, dan di barengi kretek tentunya.
Sahabat-sahabatku, tak memungkinkan namamu aku tuliskan di sini. Aku yakin, kalian-kalian sahabat yang baik hati. Cerita ini akan aku kotakkan. Di luar sana gaduh, pada berebut potongan krispi, yang sebagian sebaya dengan kita mencari identitas dengan tunduk pada sebuah bangunan resto. Kita ngopi di pinggir jalan saja ya, walaupun tak dianggap gaul. Heeehee.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H