Nah, kalau kepahlawanan selama ini kita imajinasikan hal yang baik, kita akan terlena dibuatnya. Dan, akhirnya yang tampak di permukaan adalah hal baik terus-menerus.
Dengan memahami keburukan dan kejahatan yang telah dilakukan seseorang, diharapkan masyarakat semakin paham dan tidak melakukan kejahatan sejenis. Cita-cita pendiri Republik untuk menjadikan negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur niscaya bukan jauh api dari panggang lagi. Narasi tersebut seringkali digunakan untuk menggambarkan sebuah negara yang ideal.
Paradoksnya, penanganan kejahatan negeri kita yang sedang tidak baik-baik saja. Selama ini, negeri ini banyak mengisahkan kisah-kisah kebaikan kepahlawanan. Semakin lama makin terbius dan lupa meletakkan pada porsi yang benar.
Untuk itu dapat dipertimbangkan penetapan pahlawan kejahatan sebagai titik balik dari paradoks tersebut.
Dilansir dari tempo.co, "Pada tahun 2011, pengadilan di Den Haag juga memutuskan bahwa para janda di Rawagede di Jawa harus diberi kompensasi atas kerusakan yang diderita oleh eksekusi selama perang kemerdekaan. Belanda meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban kejahatan perang selama revolusi kemerdekaan Indonesia."
Sebuah pengakuan kesalahan oleh Pemerintah Belanda dengan pemberian kompensasi kepada para korban kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda pada jaman perang kemerdekaan. Saya memberanikan diri menyebut, bahwa Pemerintah Belanda adalah Pahlawan Kejahatan. Dunia menyaksikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan tentara Belanda saat itu, dan implikasinya memberikan pelajaran untuk tidak semena-mena kepada rakyat jajahannya. Secara moral Belanda akan di stereotype sebagai negara imperialis kejam bertahun-tahun oleh masyarakat dunia, dan ini pasti menyakitkan.
Mungkin, contoh di atas menjadi satu alternatif pemberian reward dan punishment bagi penerima gelar pahlawan kejahatan. Konsep pengakuan kesalahan yang dilembagakan. Bukankah, mengakui kesalahan jauh lebih terhormat daripada memanipulasi kebenaran?
Sekian, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H