Menurut (Ikhsan et al., 2024) Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari -- hari banyak orang. Platfrom seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, tetapi juga untuk mengakses informasi, berbagi pendapat, dan bahkan memengaruhi opini publik. Salah satu fenomena yang menonjol dalam interaksi dimedia sosial adalah " Cancel Culture ".
"Cancel Culture " tertuju pada praktik dimana individu atau kelompok secara bersama-sama memboikot atau menghindari sesorang atau suatu organisasi yang dianggap telah melakukan kesalahan atau pelanggaran tertentu. Cancel culture adalah fenomena baru dalam penggunaan media sosial. Fenomena ini berkaitan dengan tokoh publik yang terlibat dalam masalah atau skandal tertentu  (Effendi & Febriana, 2023).
Memahami pola interaksi sosial di media sosial sangat penting karena platfrom ini memainkan peran besar dalam membentuk persepsi, sikap dan perilaku kita. Media sosial memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri, tetapi juga dapat menjadi arena konflik dan kontroversi. Dengan memahami bagaimana interaksi ini terjadi, kita dapat lebih baik menavigasi tantangan dan peluang yang ditawarkan oleh media sosial.
Selain itu, mempelajari fenomena seperti "cancel culture " membantu mengidentifikasi dampak positif dan negatif dari dinamika sosial di dunia maya. Ini penting tidak hanya untuk individu yang aktif di media sosial, tetapi juga untuk pembuat kebijakan, pendidik, dan pemimpin komunitas yang ingin menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan ramah bagi semua orang (Purnamasari, 2022) .
Salah satu teori komunikasi yang cocok untuk memahami interaksi di media sosial adalah Teori Spiral Keheningan ( Spiral of Silence Theory ) yang diperkanalkan oleh Elisabeth Noelle-Neuman. Teori ini menyatakan bahwa individu sering kali diam jika mereka adalah minoritas, karena takut akan isolasi sosial, Di media sosial, hal ini dapat terlihat ketika orang -- orang memilih untuk tidak menyuarakan pendapat yang kontroversial atau tidak populer karena khawatir akan reaksi negatif atau bahkan " dibatalkan " oleh komunitas online.
Fenomena " cancel culture " dapat dianalisis melalui lensa Teori Spiral Keheningan dapat menjelaskan mengapa orang mungkin enggan untuk membela seseorang yang sedang "dibatalkan " karena takut akan mendapat sanksi sosial. Di media sosial, dimana opini publik dapat berubah dengan cepat dan tekanan sosial sangat kuat, banyak orang mungkin merasa lebih aman untuk mengikuti arus utama dari pada menyuarakan pendapat yang berbeda.
Dari analisis yang dilakukan beberapa point utama dapat diidentifikasi. Pertama " cancel culture " sering kali diprovokasi oleh tindakan atau pernyataan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh komunitas online. Kedua penyebaran informasi tentang tindakan atau pernyataan ini sangat cepat, terutama melalui platfrom media sosial yang memliki fitur berbagai dan retweet yang memungkinkan informasi menyebar dengan viral. Ketiga, individu yang menjadi target " cancel culture " sering kali mengalami dampak signifikan, termasuk kehilangan pengikut, penurunan popularitas, dan kadang kadang merupakan kerugian finansial atau profesional.
Fenomena " cancel culture " memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk pola interaksi sosial di media sosial. Salah satu dampaknya adalah peningkatan kehati-hatian dalam berkomunikasi. Banyak pengguna media sosial sekarang lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pendapat mereka, menghindari topik-topik yang yang kontroversial dan lebih sering menggunakan bahasa netral untuk menghindari dari reaksi negatif (Juniman, 2023).
Selain itu, " cancel culture " juga memperkuat dinamika kelompok dimedia sosial Instagram. Pengguna sering kali bergabung dalam kelompok yang memiliki pandangan serupa dan saling mendukung dalam tindakan membatalkan seseorang. Hal ini menciptakan lingkungan dimana pandangan yang berbeda atau berlawanan sering kali ditekan atau diabaikan, memgurangi keberagaman pendapat yang muncul diplatfrom khususnya Instagram tersebut.
Dampak lainnya adalah munculnya kesadaran sosial yang lebih tinggi. " cancel culture " sering kali membawa perhatian pada isu-isu sosial yang penting, seperti ketidakadilan, kekerasan, dan perbedaan perlakuan. Dengan cara ini " cancel culture " dapat berfungsi sebagai alat untuk menuntut pertanggung jawaban dan perubahan sosial.
Namun, " cancel culture " juga memiliki sisi negatif. Praktik ini bisa menjadi bentuk bullying online atau hujatan netizen, dimana individu atau kelompok diserang secara berlebihan tanpa kesempatan untuk membela diri atau memperbaiki kesahalahan mereka. Ini dapat menciptakan lingkungan yang toxic dan penuh ketakutan dimana orang-orang merasa takut untuk berbicara atau berpatisipasi dalam diskusi karena takut " dibatalkan " (Mardeson & Mardesci, 2022).
Secara keseluruhan, " cancel culture " memainkan peran yang penting dalam membentuk pola interaksi sosial dimedia sosial Insatgram. Sementara itu bisa mempromosikan kesadaran dan perubahan sosial, itu juga bisa menekan kebebasan berbicara dan menciptakan dinamika sosial yang tidak sehat. Memahami dampak ini penting untuk mengembangkan strategi yang dapat memanfaatkan aspek positif dari " cancel culture " sambil mengurangi efek negatifnya.
Salah satu kasusnya yang menarik perhatian publik di Indonesia belakangan ini terjadi melibatkan Rizky Billar, seorang aktor dan presenter yang dituduh melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya Lesti Kejora. Kasus ini mendapatkan perhatian luas dimedia sosial khususnya Instagram, dengan banyak pengguna yang menyuarakan boikot terhadap Rizky Billar serta produk atau acara yang terkait dengannya. Akibat dari kasus ini, Rizkt Billar mengalami penurunan jumlah pengikut dimedia sosial Instagram dan beberapa kontrak dengan merek dan acara televisi terpaksa dihentikan.
Analisis Fenomena Komunikasi Sosial "Cancel Culture"
- Mobilisasi Opini Publik :
Kasus ini menunjukkan bagaimana video yang viral dapat mempengaruhi reaksi emosional yang kuat dari pengguna Instagram. Reaksi ini termasuk ajakan untuk menghentikan dukungan dan mengecam publik figur yang terlibat dalam tindakan kontroversial. Ini mencerminkan bagaimana budaya pembatalan memobilisasi opini publik untuk merespons perilaku yang dianggap tidak pantas atau merugikan.
- Penyebaran Cepat dan Efek Viral :
Video tersebut menyebar dengan cepat di Instagram, menunjukkan bagaimana platform ini memungkinkan informasi untuk tersebar dengan cepat di antara pengguna. Fitur-fitur seperti fitur berbagi dan story memainkan peran penting dalam mempercepat penyebaran konten kontroversial dan meningkatkan paparan publik terhadap konten tersebut.
- Seruan Boikot dan Dampak pada Citra Publik :
Reaksi yang dihasilkan dari kasus ini melibatkan ajakan untuk menghentikan dukungan terhadap Rizky Billar, serta menunjukkan penurunan signifikan dalam popularitasnya di media sosial Instagram. Ini menyoroti bagaimana "cancel culture" dapat memiliki dampak langsung terhadap citra publik seseorang dan mempengaruhi perilaku pengguna lainnya.
Implikasi dari kasus ini
- Pengaruh Terhadap Karir dan Citra Publik:
 Kontroversi ini menunjukkan bagaimana tindakan kontroversial di media sosial dapat langsung mempengaruhi karir dan citra publik seseorang. Rizky Billar mengalami penurunan popularitas dan konsekuensi bisnis, seperti pemutusan kontrak dengan merek-merek yang bekerja sama dengannya. Ini mengingatkan kita akan pentingnya pertimbangan etika dan reputasi dalam berinteraksi di dunia maya.
- Dampak Psikologis dan Personal :
Bagi individu yang terlibat, seperti Rizky Billar dan Lesty Kejora, kontroversi ini juga dapat memiliki dampak psikologis yang besar. Mereka mungkin mengalami tekanan mental dan emosional akibat reaksi publik yang keras dan penilaian yang terbuka di media sosial.
- Peran Media Sosial dalam Membentuk Opini Publik:
Kasus ini menyoroti peran penting media sosial dalam membentuk opini publik. Diskusi yang luas di Instagram dan platform lainnya menunjukkan bagaimana informasi, baik yang benar maupun yang salah, dapat dengan cepat memengaruhi persepsi dan sikap orang terhadap suatu isu atau individu.
Dalam kasus ini untuk mengatasi dampak negatif dari "cancel culture," penting untuk mempromosikan komunikasi yang terbuka dan adil. Langkah-langkah praktis termasuk memberikan kesempatan bagi individu yang terkena dampak untuk membela diri dan memperbaiki kesalahan mereka, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memahami konteks sebelum menilai. Selain itu, mendorong diskusi yang sehat dan penuh hormat di media sosial dapat membantu mengurangi suasana toxic dan ketakutan yang berlebihan.
Daftar pustaka
Effendi, A. O. A., & Febriana, P. (2023). Fenomena Cancel Culture Sebagai Kontrol Sosial pada Kasus KDRT Rizky Billar Terhadap Lesti Kejora. Jurnal Riset Komunikasi, 6(2), 21--33. https://doi.org/10.38194/jurkom.v6i2.713
Ikhsan, F., Muizunzila, F. A., & Marsuki, N. R. (2024). Pengaruh Media Sosial Terhadap Hubungan Sosial di Era Digital. Jurnal Motivasi Pendidikan Dan Bahasa, 2(1), 30--34.
Juniman, P. T. (2023). Analisis Kritis Fenomena Cancel Culture dan Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, 18(1), 1--14. https://doi.org/10.37680/adabiya.v18i1.2451
Mardeson, E., & Mardesci, H. (2022). Fenomena Boikot Massal (Cancel Culture) Di Media Sosial. Jurnal Riset Indragiri, 1(3), 174--181. https://doi.org/10.61069/juri.v1i3.27
Purnamasari, N. I. (2022). Cancel Culture: Dilema Ruang Publik Dan Kuasa Netizen. Mediakom: Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(2), 137--149. https://doi.org/10.35760/mkm.2022.v6i2.7719
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H