Ida Ayu Nyoman Rai Srimben… nama yang begitu diagungkan oleh seorang Sukarno. Ia adalah seorang ibu yang telah menumpahkan seluruh restu bagi perjuangan anaknya.Seorang ibu yang memangkunya di saat fajar menyingsing, seraya memeluk dan membisikkan kata, “Jangan lupa nak… engkau adalah Putra Sang Fajar”.
Tak pernah Bung Karno lupakan, momentum pagi hari sebelum keberangkatannya ke Surabaya, untuk melanjutkan sekolah di HBS. “Rebahlah nak… rebahlah di tanah…,” perintah sang ibu. Tanpa bertanya, apalagi memprotes, Sukarno kecil pun segera rebah di tanah menghadap langit semesta. Sang bunda segera melangkahi tubuh kecil Sukarno hingga tiga kali bilangannya. Itulah bentuk seluruh restu yang ia tumpahkan bagi sang putra.
Bung Karno sadar… Idayu Nyoman Rai Srimben tidak kalah sadar… sejak itu, mereka harus “berpisah”. Sejarah pun kemudian mencatat, Bung Karno sekolah di Surabaya, menumpang dan digembleng oleh HOS Cokroaminoto. Perjalanan selanjutnya adalah Bandung untuk menggapai titel insinyur di THS (sekarang ITB). Jika dideret rentetan sebelum dan setelahnya, akan tebentang sejarah panjang Sukarno yang dramatis.
Sang ibu, yang kemudian berdiam di Blitar, adalah seorang ibu yang tidak pernah putus merestui dan mendoakan anaknya. Ada kalanya pula, Sukarno yang sowan ke Blitar, menjemput restu. Ya, dalam segala hal, Sukarno terus meng-up-date restu sang bunda. Dalam hal apa pun…. Entah ketika mengawali pelajaran, ketika mengawali kehidupan berumah-tangga, ketika ini dan itu… restu bunda nomor satu.
Dokumen tutur dan foto menggambarkan, betapa tradisi sungkem dilakukan Sukarno dari kecil hingga akhir kehidupan sang bunda. Pertama-tama, ia bersimpuh, lalu mengatupkan kedua telapak tangan dengan gerakkan menempelkannya di depan wajah, turun ke dada, lantas menyangga lutut ibunda seraya wajahnya merunduk mencium lutut sang ibu… Itulah bentuk hormat dan bakti setinggi-tingginya dari seorang putra kepada sang bunda. Idayu pun menumpahkan seluruh restu seraya mendekap anak tercinta….
Adalah takdir seorang putra, yang senantiasa wajib berbakti kepada ibu hingga putus usia. Itu pula yang dilakukan Bung Karno.
Jika ada yang mengaitkan “kesaktian” Bung Karno dengan jimat, tongkat, dan benda-benda apa pun, niscaya sebuah pemahaman keliru. “Kesaktian” Bung Karno justru terletak pada restu sang ibu, disertai kesadaran tinggi, bahwa takdir, termasuk kapan maut menjemput, adalah mutlak milik Tuhan.
Di antara sekian banyak keteladanan dari seorang Sukarno, rasanya keteladanan “bakti kepada ibu” ini merupakan keteladanan yang patut disemai. (roso daras)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H