Mohon tunggu...
Wahyu Aji
Wahyu Aji Mohon Tunggu... Administrasi - ya begitulah

Insan yang suka mendeskripsikan masalah dengan gaya santai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hanya Khilafah Solusinya(?)

13 Juni 2019   13:11 Diperbarui: 13 Juni 2019   13:22 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika mata saya sudah mulai lelah melihat segala kekecewaan di dunia ini, saya palingkanlah keletihan tersebut pada sebuah pelampiasan instan. Sebuah ponsel yang selalu menemani saya dalam tidur malam namun jarang sekali tersentuh hanya karena tidak ada interaksi sosial di media sosial. 

Kala itu dengan kesadaran mulai menurun saya membuka aplikasi WA yang dari beberapa jam yang lalu tidak ada notifnya hanya untuk melihat status di sana. Tentu saja sudah sifat manusia untuk pamer, baik dari segi materi maupun pribadi dan WA dengan sangat baik memfasilitasinya (honorable mention for IG and FB). 

Nah, pada satu momen, saya menemukan status teman saya yang menguggah jiwa raga saya sebagai seorang non-katolik (btw, saya muslim). Status tersebut berupa video singkat dengan narasi yang dibawakan oleh seorang wanita berjilbab dan isinya adalah sejarah kekaisaran Ottoman yang pada akhirnya runtuh. Intinya dari video tersebut menjelaskan bagaimana kekhalifahan terakhir (katanya sih) Islam hancur dan video di akhiri dengan heroik oleh sang wanita sembari meneriakan kebangkitan khilafah nanti. Ya, saya tahu apa yang anda pikirkan. Benar, wanita itu salah pergaulan.

Paragraf awal di atas memang mengulik tentang bahasan khilafah dan sayang seribu sayang, teman saya menjadi salah satu pendukungnya. Apalagi dengan postingan yang serupa mengikutinya seterusnya. Hal ini membuat saya penasaran dan menanyakan langsung kepada beliau tentang arti khilafah. 

Jawabannya sederhana sesederhana jawaban buku pelajaran sejarah Islam. Sebuah pemerintahan yang menggunakan dan menjalankan syariat Islam didalamnya. Hanya itu. Lalu saya bertanya "apakah hal tersebut diperlukan di negeri kita yang tersayang dengan 1.300 suku dan 270 juta lebih penduduk dengan berbagai macam keyakinan?" Kemudian hanya centang dua biru berikutnya.

Masalah khilafah ini memang bagai air laut, kadang pasang kadang surut. Kadang timbul kadang hilang. Tergantung situasi, kalau negara lagi down maka pemerintahannya akan diserang dengan narasa tentang khilafah. Kalau ada negara mayoritas Islam lainnya di belahan dunia lain yang terkena musibah, maka khilafah kembali hadir. 

Kalau ada sahabat-sahabat islam yang teraniaya, maka khilafah berada di garda terdepan, dalam ocehannya. Bentuk kampanye sama, membuat khilafah kembali hadir karena keyakinan bahwa khilafah adalah janji Allah dan pasti akan terjadi. Maka hanya khilafah solusinya. Soal bagaimana nantinya khilafah berjalannya, yang penting khilafah dulu ditegakkan.

Mengenai tafsiran tentang apakah khilafah benar akan kembali sebenarnya sudah di jelaskan oleh Gus Nadir dalam situsnya. Beliau menerangkan dalam berbagai tafsiran mengenai kekhilafan, eh khilafah maksudnya. Salah satu diantara yang dijelaskan beliau adalah bahwa khilafah sebenarnya sudah terlaksana ketika masa empat sahabat Nabi (Khulafaurrassyidin). Selebihnya bisa dilihat sendiri di situs beliau. 

Tetapi yang juga penting adalah bahwasanya di Alquran sendiri maupun hadist tak ada secara detil mengatakan bagaimana suatu sistem pemerintahan itu mestinya. Hanya penyebutan kata khalifah yang sering digemborkan saja oleh para simpatisannya. Adapun kata khalifah sendiri berarti penguasa atau pemimpin secara individu yang bahkan tidak spesifik mengatakan bahwa itu adalah sebuat sistem.

Namun meskipun sudah banyak penjelesan detail mengenai khilafah dan khalifah dan kekhilafan lainnya, tetap saja para pendukungnya tak mau mengerti. Dapat dimaklumi, namanya juga pendukung. Pengamatan saya (mungkin nanti bisa dikoreksi dan ditambah), bahwa hampir menjadi ketentuan wajib untuk menyertakan kekaisaran/kesultanan/kekhalifahan Ottoman dalam kampanye pendukung khilafah. Dengan sebuah role model yaitu Sultan Mehmed II sang penakluk Konstantinopel. Memang benar begitu bagus dijadikan teladan, tapi itu kan oranganya. Sifatnya dan karakternya memang yang telah dijanjikan seperti kata nabi Muhammad bahwa yang nantinya menaklukan Konstantinopel adalah pemimpin dan pasukan yang terbaik pada zaman tersebut dan Mehmed II memenuhi syaratnya. Bukan sistem pemeritahan yang dibawanya. 

Masa keemasan segala ke-khalifahan pun sebenarnya peran serta dari sumber daya manusianya. Hemat saya, mungkin karena momen yang tepat dengan segala kejayaan itulah dan membawa peradaban Islam maju, maka kekhalifahan seolah menjadi sebuah pilihan yang mutlak bagi orang pada masa kini. 

Padahal jika ingin melihat sejarah lebih dalam lagi, kekhalifahan tak sepenuhnya selalu sejalan dengan aturan agama. Selalu ada kekurangan di dalamnya. Ada pemimpin yang sudah dibutakan oleh jabatan, ada yang hanya tergiur kekuasaan, berlaku tak adil dan sebagainya. Karena itulah satu persatu yang namanya kekhalifahan perlahan runtuh. Bahkan peralihan pemimpin pun pada masa khalifah (setelah khulafaurrassyidin) kebanyakan berdasarkan keturunan, lebih seperti monarki atau kesultanan. Tak ada yang namanya perundingan apalagi musyarawah.

Jika sagala permasalah di dunia ini hanyalah khilafah solusinya, maka tentunya aman dan sejahtera bumi yang telah dihamparkan ini. Namun tidak semudah itu Fatimah, memang benar hukum dan syariat Islam perlu dijalankan, tapi bukan hanya khilafah solusinya. Pemerintah memang punya tugas dan kewajiban untuk menjamin penduduknya dalam melaksanakan ajaran agamanya. Situasi dan kondisi suatu negara pun menjadi suatu pertimbangan. 

Sistem apapun yang dipakai memungkinkan untuk mewujudkan hal tersebut dengan segala kekurangan yang menyertainya. Jikapun nantinya khalifah benar jadi, lalu apa? siapa yang ngurusin ketatanegaraanya? toh juga butuh orang yang kompeten pada masing-masing bidang dan itu tak hanya khilafah solusinya. Tak usalahlah gembar-gemborkan khilafah sana-sini kalau nyetak KTP saja masih di Dukcapil Kecamatan bukan di Dukcapil Khalifah Abbasiyah di Baghdad sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun