Tempat ibadah merupakan fasilitas publik. Publik berhak atas segala kenyamanan yang ada disana teruntuk para Jemaah yang ingin melaksanakan ibadahnya. Tentunya keterpakaian tempat ibadah sesuai dengan keyakinan  yang dianut oleh jemaahnya.Â
Dalam lingkup islam di Indonesia sendiri sudah menjamur masjid masjid hingga surau kecil di setiap daerah. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim, ketersediaan fasilitas tempat ibadah bagi mereka sangatlah penting dan akhirnya jumlahnya pun sudah tak terhitung yang dibangun.
Mendirikan tempat ibadah kecil di pedesaan ataupun masjid besar di perkotaan tentunya tidak dibangun dengan semalam saja. Perlu dana yang terbilang besar jika ingin membangun tempat ibadah yang sesuai dengan tuntutan zaman.Â
Faktor yang diperhatikan bahkan tak hanya tempatnya saja yang lapang, tetapi masalah teknis, arsitektur hingga estetika perlu untuk dimaksimalkan, setidaknya seindah mungkin untuk dipandang dari jalanan. Dari segala aspek itu sering pula kita jumpai di lingkungan kita penggalangan dana yang diperuntukkan untuk pembangunan masjid. Pertanyaannya, apakah segala bentuk penggalagan merupakan sebuah sikap meminta minta?
Suatu ketika seorang pemuda datang mengetuk pintu rumah saya. Perawakannya muda dan tentunya bukan warga komplek perumahan disini. Dengan nada lembut dan memberi salam serta menjabat tangan, ia menyodorkan sebuah buku.Â
Buku itu terdapat kolom nama hingga kolom nominal, tentunya kolom nominal ditunjukkan bagi segala hal yang berbau keuangan. Singkat cerita, permintaan sumbangan untuk pembangunan sebuah masjid yang jaraknya tak kurang 30 km jauhnya dari kediaman saya. Sontak saya kaget, apakah kali ini saya ditipu?.
Biarlah bagaimana nanti kelanjutannya akan bercerita, tetapi begitu amat disayangkan kalau itu memang benar kejadian. Bukan masalah menyumbang atau tidak, tetapi toh kenapa mesti sejauh itu meminta sumbangannya. Bukankah tentunya ada kesadaran tersendiri untuk para warga sekitar yang dibangun tempat ibadah itu yang setidaknya berkontribusi lebih.Â
Belum lagi, di daerah daerah dana pembangunan masjid difasilitasi oleh jalan raya. Berderet para ibu ibu, hingga anak anak mengayunkan tangannya sambil diiringi oleh lagu islami yang diputar dari kaset untuk meminta uang jatuh dari para pengendara.
Sepertinya dalam hal yang berbau keagaman memang selalu dianggap benar. Entah itu caranya salah ataupun malah ujungnya jadi masalah. Cover agama dengan berbagai pesan suci juga menjadi tameng setiap aktivitas seperti ini. Terlepas bagaimana masalah pahala yang akan diterima, toh itu juga urusan hamba dengan Tuhannya bukan urusan pemegang microfonnya, tetapi kewibawaan suatu ajaran mestinya juga diperhatikan.Â
Meminta minta hingga mengganggu lalu lintas, belum lagi kita tak tahu apakah semua orang yang melintas adalah satu keimanan dengan kita. Hingga lebih jauh meminta sampai ke luar daerah, sebegitu dermawan kah kita? hingga perlu bulanan bahkan tahunan untuk mendirikan sebuah tempat ibadah dari hasil meminta minta?
Tak seperti sekarang, sepertinya kebutuhan akan masjid meningkat pesat. Tidak cukup hanya bersih lantainya saja, tetapi perlu tambahan pendingin ruangan, kubah bercat emas, menara toa puluhan meter tingginya dan banyak lagi yang membuat permintaan dana juga melambung tinggi.Â