Pada tahun 1988, Helvy memakai jilbab, dan sejak saat itu nuansa kepenulisannya mulai kental dengan Islam. Pada saat itu, Helvy mulai merumuskan prinsip kepenulisannya, yakni bahwa "menulis berarti mencerahkan". Saat SMA ini pula Helvy menjadi pengurus majalah dinding (mading) dan teater. Lulus SMA, Helvy melanjutkan kuliah. Dalam diskusi di acara FIB BUZZ tahun 2007 yang dihadiri penulis, Helvy menuturkan bahwa setelah lulus SMA, bisa saja ia melanjutkan ke jurusan Akuntansi atau Manajemen UI, tetapi ia tidak melakukannya. Ia tetap memilih jurusan Sastra Arab FS UI (sekarang FIB UI) dilatarbelakangi semangat yang tinggi untuk mempelajari Islam.
Di kampus, Helvy mengikuti senat FS UI (sekarang BEM FIB UI) dan masuk ke dalam FORMASI (Forum Amal dan Studi Islam), semacam Rohis-nya FIB. Sambil mengikuti organisasi, Helvy terus menulis dan memenangkan beberapa lomba penulisan ilmiah dan fiksi yang diadakan fakultas, universitas, dan nasional. Dan untuk menjaga kualitas karya-karyanya, dalam seminggu, di luar buku-buku yang harus dibaca sebagai tugas kuliah, paling sedikit Helvy harus membaca 2 buku sastra. Ketika Helvy menginjak tahun ketiga kuliah, dia menjabat sebagai pemred Annida, sebuah majalah remaja yang concern dengan fiksi.
Di masa-masa kuliah inilah Helvy mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP). Pada tahun 1997, Helvy, Asma, serta beberapa teman dari FS UI bertemu di MUI (Masjid Ukhuwah Islamiyah). Berawal dari diskusi tentang minat baca dan tulis di kalangan remaja Indonesia, akhirnya terbentuklah semacam forum tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menulis. Anggota awalnya tidak lebih dari 30 orang dan Helvy terpilih menjadi Ketua Umum yang pertama. Beberapa tahun kemudian, FLP menjadi fenomenal dan menggurita di seluruh Indonesia.
Dalam acara mengenang wafatnya Ismail Marahimin di FIB UI tahun 2008 yang dihadiri penulis, Helvy datang untuk memberikan komentar tentang almarhum. Ketika kuliah, Helvy memang mengambil mata kuliah Penulisan Populer I & II yang diasuh oleh Ismail Marahimin. Helvy menceritakan bahwa ia sering frustasi karena sikap dosennya itu. Setiap mengumpulkan tugas, pak Ismail selalu mengkritik karya Helvy dengan keras, bahkan tak jarang menjelek-jelekkan karyanya. Cara pak Ismail mengajar memang lumayan keras. Namun, Helvy menanggapi kritik itu dengan perbaikan karya. Ternyata, seorang dosen (kalau tidak salah pak Maman S Mahayana[10]) mengatakan bahwa pak Ismail sering memuji Helvy dengan penuh semangat ketika mengobrol dengan dirinya. Pak Ismail rupanya sengaja menjelek-jelekkan karya Helvy supaya ia tahan banting sebagai penulis dan tidak pernah puas dalam menyempurnakan karyanya. Setelah menjadi penulis, ketika Helvy datang ke FIB untuk mengucapkan salam, pak Ismail selalu berkelakar sambil tersenyum,
"Wah, rupanya kamu benar-benar jadi penulis ya?"
Penutup
Tidak mungkin rasanya penulis menangkap semua mozaik dari masa kecil dan masa remaja Helvy karena kemampuan penulis yang terbatas. Sejatinya, apa yang Helvy raih pada saat ini, semua itu ada prosesnya. Dan proses penggodokan itu terjadi pada masa kecil hingga masa kuliah Helvy. Membaca kisah perjuangan dan perjalanan Helvy sebagai penulis, insya Allah akan mendatangkan inspirasi yang hebat: seolah-olah kita mendapatkan peta yang menunjukkan ke arah mana kita harus berjalan.
Ketika duduk di kelas 2 SMP, Helvy bertemu dengan Putu Wijaya di sebuah forum. Helvy menemuinya dan berkata,
"Mas Putu, saya ingin jadi penulis. Nama saya Helvy, tolong dong dikasih kata-kata!"
Kemudian Putu Wijaya menulis:
"Helvy, menulis adalah berjuang!"