Yang saya ingat dari Noriyu, mayoritas warga DKI Jakarta punya masalah dengan kesehatan jiwanya. Hanya saja, degradasinya berbeda-beda. Ada yang 5%, 10%, dan seterusnya. Saya sering becanda dengan kawan-kawan lain, betapa tak satupun yang tak sakit jiwa dalam komunitas kami. Masalah kesehatan jiwa ini muncul dari persaingan hidup di Jakarta, tata kelola masyarakat, tata kelola pemerintahan, gaya hidup dan sebagainya. Saya sering memberikan perumpamaan kepada para mahasiswa tentang kondisi kesehatan jiwa warga Jakarta itu.
“Cobalah melongok jalanan-jalanan utama pas jam macet. Misalnya, anda dari Gedung Metropolitan II di Jalan Sudirman menuju Semanggi. Coba anda berjalan kaki, dalam waktu 15 s/d 20 menit sudah sampai di tujuan, melewati Sampoerna Strategic Square. Tapi cek ke jalanan? Orang lebih suka berada di dalam kendaraannya, menunggu satu sampai dua jam, sambil menghidupkan mesin, lalu menunggu macet terurai. Satu atau dua orang saja di dalam mobil. Di Jakarta ini, bukan kendaraan yang membawa manusia, tetapi manusia yang menjunjung kendaraannya kemana-mana. Jumlah kendaraan di Jakarta sudah 2,5 kali lipat jumlah penduduknya,” begitu cerita saya.
Coba cek pelaku pembakaran di Krukut. Sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online. Artinya? Bisa menggunakan teknologi informasi terkini bernama smartphone. Ia bisa menghitung soal harta warisan. Pun, ia memesan bensin dan menyimpanya dengan alasan untuk keperluan motornya. Dan seterusnya. Silakan google saja ceritanya. Bejibun.
Silakan juga simak pelaku penganiayaan KH Umar Basri di Cicalengka. Orangnya bisa berbaur dengan para santri, ikut serta sholat berjamaah, bahkan pura-pura berzikir menunggu seluruh santri pulang ke pondoknya di pagi yang dingin itu. Lalu, dengan kecepatan bak singa, menendang kotak amal dan menganiaya Kyai yang berusia renta itu sampai pingsan.
Yang saya bayangkan, andai seratus orang yang punya masalah dalam kesehatan jiwanya itu – dengan degradasi berbeda-beda, tentunya – melakukan aktivitas seperti membakar dan menganiaya ulama itu dilakukan pada hari yang sama, di seluruh Indonesia, apa jadinya negeri ini? Seperti puzzle, bisa saja kejadiannya sama sekali tak berhubungan. Tapi sungguh celaka, jika ada organisasi kejahatan yang justru menggunakan orang-orang yang punya masalah kesehatan jiwa ini untuk memicu frustrasi dan konflik sosial.
Dan saya belum merisetnya. Tersangka yang dinyatakan “Sakit Jiwa” ini bukan muncul kali ini saja, tapi beberapa saya ingat. Apakah ada semacam pola? Silakan para ahli kesehatan jiwa yang memeriksanya, bersama pihak-pihak yang memang memiliki waktu lebih, di tengah balada politik yang berlangsung di negeri khatulistiwa ini...
Oleh
Indra J Piliang
Sang Gerilya Institute
Jakarta, 31 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H