Usiaku tiga bulan lebih tua dari Genius Umar. Kami lahir di kota yang sama, Pariaman. Aku lahir tanggal 19 April 1972 di Kampuang Perak, sementara Genius tanggal 27 Juli 1972 di Pauah. Perjalanan hidup membuatku sudah berkelana sejak bayi, yakni naik kapal laut ke Sikakap, Kepulauan Mentawai. Almarhum ayahku, Boestami Dt Nan Sati, ditugaskan oleh Bupati Anas Malik sebagai Kepala Syahbandar di Mentawai, sekaligus menjadi sekretaris di kantor kecamatan. Julukan ayahku adalah Pak KK (Kepala Kantor). Sampai Sekolah Menengah Pertama di Kampung Dalam, aku berpindah-pindah sekolah.Â
Beruntung, ketika menamatkan SMP, sistem Nilai Ebtanas Murni (NEM) diberlakukan. Terjadi persaingan bebas antar siswa dari seluruh Sumatera Barat untuk masuk sekolah favorit. Sekolah-sekolah yang menerapkan NEM tinggi, menerima siswa-siswa terbaik. Sebagai juara kelas di SMP, NEM-ku sanggup untuk masuk SMA Negeri 2 Pariaman. Kalau tidak salah ingat, NEM-ku berjumlah 41, rangking ke-13 dalam penerimaan siswa. Aku masuk kelas I-5, sementara Genius yang tamatan SMP 4 Kota Pariaman, duduk di kelas 1-4. Baru dalam penjurusan di kelas II, aku sekelas dengan Genius, yakni Jurusan A-1 (Fisika).Â
Seingatku, selain pelajaran Bahasa Inggris, Genius jago di bidang matematika. Dalam acara class meeting yang diadakan oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang diketuai oleh Aidil Abrar, Genius mengalahkanku di bidang Bahasa Inggris. Aku kemudian tahu, ternyata Genius ikut kursus di Garuda Course yang terletak di dekat pasar Kota Pariaman. Aku? Hanya mengandalkan kemampuan berbahasa Inggris sejak sekolah dasar dengan cara mendengarkan Radio BBC dan berlangganan majalah bahasa Inggris. Dalam kejuaraan antar kelas, duetku dengan Genius dalam menyanyikan lagu "Angin Malam" Broery Pesolima yang juga kupuisikan, meraih uara pertama.Â
Kelas Fisika adalah kelas yang ditakuti, bukan saja oleh para siswa, tetapi juga guru-guru. "Keahlian" kami adalah mengerjai setiap guru yang masuk. Sejumlah guru, terutama yang sedang praktek dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang pernah kami buat menangis. Kalau tidak salah, hanya tiga guru yang bisa meraih hati kami, yakni guru biologi, guru sejarah dan guru matematika. Ketiganya perempuan dan -- tentu saja -- cantik. Semua guru sudah pasti ada "oposisi"nya. Namun, dari semua kenakalan kami itu, terdapat satu siswa yang semua telunjuk mengarah kepadanya sebagai "tertuduh", apabila ditanya oleh Guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) kami. Namanya, Surya Abadi dengan julukan si Bulan. Kenapa? Ada jerawat sebesar bulan yang tidak sembuh-sembuh di pipi anak Pasaman itu.Â
Ukuran kenakalan bukan dipanggil Guru BP, melainkan ditampar oleh Kepala Sekolah, almarhum Nurmansyah Manan yang bertubuh pendek. Aku belum bertanya, berapa kali Genius kena. Aku? Dua kali mendapatkan tamparan di pelipis. Sekali setelah upacara hari senin, dengan cara memanjat tubuh Genius, lalu tangan melayang ke pipiku. Kedua kalinya, dengan cara menjatuhkan pulpen, menyuruh aku memungutnya, lalu tangan yang sebetulnya tak seberapa kuat itu memanaskan kupingku. Tinggal teman-temanku cekikikan.Â
"Siapa yang paling sering kena tampar Pak Nurmansyah, itulah yang paling diakui kepintarannya," kilahku.Â
(Di sini aku merasa sedih, ketika kasus-kasus penamparan oleh guru di zaman now, berakhir di meja hijau).
Tidak berhenti hanya duduk di kelas favorit. Entah sudah direncanakan oleh anak-anak yang dilahirkan pada tahun 1972 -- yang menurut sebagian ahli adalah anak-anak yang paling tinggi gizinya, hebat pertumbuhannya, serta atletis tubuhnya, terutama setelah Golkar menang dalam pemilu 1971 dan melancarkan program asupan pangan kepada para siswa -- tinggi badan kami hampir sama, yakni di atas 170. Aku dan Genius termasuk yang tertinggi, yakni 175. Jika kami sedang berjalan menuju mesjid untuk sholat berjamaah, terasa sekali gagahnya. Ada Genius, Sofyan, Syarfi, Aidil, Noval, Sahrul, Sukardi, Erizal, Hendri dan lain-lain yang lebih pendek: Muslim, Dedi, Satria, Refrinaldi, Fajar, Rinaldi, Umrinaldi, Chaerul, Mulvia, Surya atau almarhum Imra Sayuki. Siapa lagi, ya?Â
Tentu saja sebagian besar kegiatan sekolah kami kuasai. Sofyan menjadi Ketua OSIS. Syarfi mewakili sekolah dalam lomba-lomba fisika dan matematika di tingkat kabupaten hingga provinsi. Aidil di kegiatan pramuka dan libero sepakbola. Aku? Kebagian dalam kegiatan paskibraka dengan menjadi komandan upacara atau membacakan naskah pembukaan UUD 1945 setiap senin. Secara bergantian memang anak-anak fisika yang merajai upacara setiap senin. Didikan otak, fisik dan disiplin sekolah membuat kami seperti derap dari sebuah generasi yang sedang menatap elan baru. Dedi memenangkan pertandingan domino. Muslim menjadi imam dan pembaca doa, baik dalam kegiatan sekolah atau sehari-hari bersama Syarfi. Bola voli? Jangan ditanya lagi, tubuh-tubuh jangkung kami adalah jaminan juara.
Lalu sampailah kami pada hari-hari terakhir sekolah. Tak terasa. Setiap orang menyimpan rencana-rencananya. Sedikit orang menyatakan langkah-langkahnya. Sebagian mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Genius masuk Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor. Aidil dan Sofyan diterima di Universitas Andalas. Hendri menjadi Pegawai Negeri Sipil, begitu juga Dedi. Syarfi lolos di Universitas Gajah Mada. Aku? Menjadi pemecah rekor, yakni sebagai alumni SMA Negeri 2 Pariaman yang pertama kuliah di Universitas Indonesia. SMAN 2 memang masuk kategori sekolah baru pas kami masuk. Berdiri tahun 1983, dalam waktu delapan tahun memunculkan sejumlah siswa yang bisa masuk kampus-kampus favorit. Sebelum itu, kami hanyalah kasta kedua dibandingkan dengan SMA Negeri 1 Pariaman di Kota Pariaman.Â
Aku mengikuti perkembangan teman-temanku setiap kali pulang kampung, lalu mencatat di buku harian. Kulihat Genius mengenakan seragam IPDN di Kota Pariaman, sementara aku berpakaian bebas. Si Gerek, julukannya -- setiap siswa memiliki panggilan sendiri, tidak disebut nama aslinya -- terlihat bangga dengan seragamnya. Julukanku sendiri, si Chenk Kok. Aku mulai menjadi sangat dekat dengan Genius, setelah ia menyelesaikan kuliah di IPDN dengan bekerja di lingkungan pemerintahan, lalu aku menjadi peneliti di Centre for Strategic and International Studies.Â