Saya ini seorang Muslim tetapi belum lagi 24 karat, ukurannya baru sebatas anggota jemaah mesjid saja. Itu pun baru sebatas sholat berjemaah saja. Dengan maqom saya seperti itu jelaslah saya ini bukan seorang Ulama, bukan pula Kiyai, dan bukan juga seorang Ustadz.
Kalau saya melakukan kekeliruan dalam beragama wajarlah sebab, saya adalah seorang Muslim yang awam. Namun, takaran iman saya hanyalah Tuhan dan saya yang tahu. Untuk iman inipun saya tak pernah pamer sehingga Muslim lainnya banyak yang merisaukan ke-Islam-an saya.
Menurut saya, yang masih dangkal pengetahuan agamanya, dalam beragama ini tak perlu pamer-pamer, yang penting kerjakan apa yang disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang.
Mungkin karena sifat dan sikap saya yang seperti itu saya pernah "dikafirkan"oleh seorang hamba Allah, yang kebetulan dia itu memakai jubah putih dan berserban putih pula tetapi, yang jelas dia bukan seorang Kiyai, bukan pula seorang ulama, dan tidak pula seorang Ustadz.
Hanya soal sepele saya diberi stempel "kafir". Saya hanya tersenyum saja, tidak membalas tudingannya tadi karena saya sadar, soal iman seseorang siapa yang tahu. Itu urusan yang Maha Kuasa.
Dilain waktu saya melihat suatu adeganperang mulut antara "omak-omak", antara "nduk bareh" (ibu-ibu dalam bhs. Minang), antara "inang-inang" (omak-omak dalam bhs. Batak), "indung-indung" (ibu-ibu dalam bhs. Sunda). Dalam perang mulut itu keluarlah kata-kata sadisyang tak pernah ada dalam Kamus Tata Krama.
Tak sampai disitu saja lalu, dilanjutkan pula dengan adegan yang lebih seru lagi, nonggeng-nonggeng pantat. Lalu, datanglah klimaksnya sampai keluar kata-kata "kafir mengkafirkan". Sementara, yang mengkafirkan itu sendiri tak pernah sholat. Yah, begitulah kalau tak pernah ada "uji petik" kata-kata.Â
Hewan-hewan pada protes, "kalian yang berantam, kok, nama kami dibawa-bawa." Memang aku ini Babi, tetapi dimakan orang, kecuali orang Islam. Aku ini Anjing, tetapi aku selalu dijadikan penjaga rumah, anjing pemburu dan anjing pelacak.
Memang aku ini Monyet, tetapi temanku Beruk di Padang Pariaman selalu disuruh memanjat batang kelapa memetik buah kelapa. Kalau tak ada temanku itu tak mungkin kalian bisa menyayur, menggulai, merendang. Â Â
Mendengarkan hal itu saya terhenyak sejenak, apakah yang begini yang diajarkan Islam itu. Seakan pelepasan kata-kata "kafir" itu sebagai pelampiasan kebencian seseorang kepada orang lain karena dianggap tak ada lagi yang maksimal selain kata itu sendiri. Â
Dua acuan diatas tadi rasanya sudah cukup untuk dijadikan referensimembuka perdebatan panjang dalam seminar "Dunia metafisik  "kafir mengkafirkan" itu. Tetapi, di dalam konteksini ada baiknya kita buat "topiknya" lebih dahulu.