Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

(Suatu Kajian) Asal Mula Ide Dwifungsi ABRI dan Penerapannya

4 Desember 2017   09:48 Diperbarui: 12 Februari 2019   23:11 5910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada mulanya saya pribadi, penulis risalah ini, tidak tahu apa itu Dwifungsi ABRI karena saya bukanlah anggota tentara. Akan tetapi setelah mengetahui ayah saya, Abdul Wahid Er., yang pada masa Perang Gerilya 1949 dahulu diberi pangkat baru sebagai Bupati Militer di Sumatera Timur, barulah disitu saya mulai tertarik dan ingin mencari tahu dari mana sebenarnya asal ide Dwifungsi ABRI tersebut. 

Memang, pada masa Perang Gerilya 1949 dahulu bukan ayah saya saja yang mendapat pangkat Bupati Militer, hampir semua pejabat sipil yang ikut bergerilya pada masa itu diberi pangkat "militer" dibelakang nama jabatannya.

Sehingga pada waktu itu ada yang berpangkat Bupati Militer, kemudian ada yang berpangkat Patih Militer, ada pula yang berpangkat Wedana Militer, selanjutnya ada yang berpangkat Camat Militer. Pokoknya, semua pegawai sipil dimiliterkan tetapi yang ada jabatannya saja baru diperkenankan memakai sebutan "Militer" dibelakang nama jabatannya.

Pada masa ini nama jabatan Patih sudah ditukar dengan nama Wakil Bupati. Nama jabatan Patih ini dipakai terus sampai ke masa Orde Revolusi Soekarno, suatu orde yang dijuluki oleh Soeharto dengan nama Orde Lama (Orla).

Sedangkan jabatan Wedana pada saat ini sudah tidak ada lagi. Pada masa dahulu setiap Kewedanaan itu membawahi beberapa Kecamatan. Lalu, pejabatnya itu disebutlah Wedana, setingkat dibawah Bupati.

Patih dan Wedana tidak ada disetiap Kotamadya (sekarang Kota saja) pada masa dahulu walau jabatan Wakil Walikota itu ada pada masa sekarang ini. Meskipun begitu struktur pemerintahan Kota (Kotamadya dahulu) tidaklah sepanjang struktur pemerintahan Kabupaten.

Dalam struktur pemerintahan dahulu ada yang dinamakan Karesidenan tetapi kini tidak ada lagi. Dahulu suatu Karesidenan dipimpin oleh seorang Residen yang membawahi beberapa Kabupaten dan Kotamadya.

Akan tetapi sampai kini jejak Karesidenan itu masih ada. Coba kita lihat plat nomor Polisi pada kenderaan bermotor, semuanya itu menggambarkan wilayah-wilayah Karesidenan dahulu. Seperti A Banten, B Jakarta, F Bogor, R Banyumas, AB Yogyakarta, BA Sumatera Barat, BB Tapanuli, BK Sumatera Timur, BL Aceh, BM Riau, DD Sulawesi Selatan, DK Bali, KB Kalimantan Barat, dan sebagainya.

Kita kembali kepada persoalan jabatan sipil yang dimiliterkan tersebut. Sepertinya jabatan-jabatan itu hanya ada di Sumatera saja sebab, di Jawa sendiri tidak ada jabatan-jabatan yang demikian.

Kita harus memahami mengapa sampai begitu persoalannya. Tentu, sudah pasti ada sebabnya dan untuk itu kita harus melihat dahulu ke belakang sewaktu Ibu Kota RI, Yogyakarta, diduduki Belanda pada Agresi Militer Belanda II, pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1949. Kemudian beberapa orang Pemimpin Negara kita ditangkap dan diasingkan di dua tempat yang terpisah jauh.

Namun, sebelumnya sempat juga Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muh. Hatta mengirimkan Surat Mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, yang kebetulan pada saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera.

Surat Mandat itu dikirim dengan telegram pada pagi hari sebelum tentara Belanda memasuki Kota Yogyakarta. Tetapi, masih ada satu lagi Surat Mandat yang dikirim kepada Dr. Sudarsono, L.N. Palar dan Mr. A.A. Maramis, yang kebetulan sedang berada di New Delhi, India untuk segera membentuk Exil Government Republik Indonesia atau Pemerintahan Pengasingan RI di India, seandainya Mr. Syafrudin Prawiranegara gagal membentuk Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi.

Pada waktu itu Kota Bukittinggi belum diduduki Belanda, hanya baru Kota Padang saja yang dapat diduduki pada waktu Belanda melakukan Agresi Militernya yang pertamadi tahun 1947. Pertahanan tentara kita saat itu berada di Kayutanam dekat Kota Padang Panjang.

Setelah diterima telegram itu maka di hari itu juga Mr. Syafrudin Prawiranegara membentuk PDRI dan sekaligus menyusun Kabinetnya hanya dengan 7 personil saja. Dalam Kabinet ini Ketuanya adalah Mr. Syafrudin sendiri dan sekaligus juga menjadi Presiden ad interim (untuk sementara) PDRI.

Jadi, Pemerintah Republik Indonesia (RI) tidak vakum, roda pemerintahan jalan terus walau dalam keadaan darurat. Semua Menteri berada di Sumatera, kecuali Mr. A.A. Maramis selaku Menteri Luar Negeri, yang berada di Luar Negeri, di India.

Mengapa para Pemimpin Negara kita rela ditangkap Belanda dan diasingkan ke Menumbin, Muntok -Pulau Bangka? Tiada lain hal itu merupakan suatu diplomasi internasional, suatu strategi untuk memaksa reaksi dunia mendesak Belanda agar segera kembali ke status quo dan memulangkan para Pemimpin Negara kembali ke Yogyakarta. Memang, strategi itu tepat dan berhasil.

Setelah Yogyakarta diduduki Belanda dan para Pemimpin Negara diasingkan ke P. Bangka maka Pemerintah RI vakum di Jawa. Kekosongan ini segera diisi dengan dibentuknya Pemerintahan Militer pada tanggal 22 Desember 1948 oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, yang pada waktu itu beliau menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, tiga hari sesudah PDRI terbentuk.

Berarti disini ada dua Pemerintahan, yang satu Pemerintahan Sipil di Sumatera dan yang satu lagi Pemerintahan Militer di Jawa tanpa ada susunan Kabinetnya dan siapa Kepala Negaranya. Didalam pemerintahannya juga terdapat perbedaan dari yang ada di Sumatera.

Oleh karena Kabinet PDRI itu disebut pula Kabinet Darurat Perang maka hampir seluruh pejabat sipilnya dimiliterkan. Berbeda dengan di Jawa, banyak dikalangan militer yang disipilkan karena pemerintahan sipil dianggap sudah vakum. Sifatnya pemerintahan militer yang ada di Jawa hanya mengisi jabatan-jabatan sipil yang kosong belaka.

Namun, Pulau Jawa mengalami double pemerintahan militer. Di daerah-daerah pendudukan Belanda, rakyat disitu dibawah kekuasaan pemerintahan militer Belanda dan bagi daerah-daerah yang masih dikuasai RI, rakyat seluruhnya total dibawah pemerintahan militer tentara kita.

Memang, tidak lama tetapi suasananya pada masa itu mencengkam sekali karena benar-benar dalam suasana perang yang setiap saat bisa saja terjadi kontak senjata dimana-mana. Ingat saja Serangan 1 Maret 1949 yang menyerbu dan menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam yang dipimpin Letkol. Soeharto.

Serangan 1 Maret 1949 itu dapat juga dianggap sebagai diplomasi internasional untuk menunjukkan kepada dunia bahwa RI masih eksis. Tidak benar seperti apa yang dikatakan Belanda bahwa RI sudah mati, sudah terkubur sehingga di dalam kancah internasional RI tidak mungkin lagi berkiprah.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia yang dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949 maka semua pemerintahan militer tadi, baik yang ada di Sumatera maupun yang ada di Jawa, berakhir dan pemerintahan kembali kepada pure civil government atau pemerintahan sipil murni.

Segala sesuatu yang diperbuat tentu berakhir dengan kesan yang merupakan suatu rangkuman pengalaman yang terkadang berjejak di hati dan susah untuk dilupakan selama-lamanya.

Dikalangan sipil yang ada di Sumatera yang pernah dimiliterkan mendapat kesan tersendiri yang indah sebagai suatu pengalaman dari Perang Gerilya yang tidak dapat dilupakan selamanya. Rasa patriotisme mereka pun semakin tebal.

Gagasan Dwifungsi ABRI itu muncul di zaman Orde Baru Soeharto dan datang dari pemikiran Jendral Dr. Abdul Haris Nasution, yang pada waktu permulaan Orde Baru beliau sempat menjadi Ketua MPRS.

Apa isi Dwifungsi ABRI itu? Mungkin para pembaca sudah mengetahui maksudnya dan karenanya tidak perlu lagi saya mengungkapkannya. Intinya partisipasi ABRI. Akan tetapi yang menjadi orientasinya perlu dipertanyakan, "apakah konsep Jawa atau konsep Sumatera yang dipakai ?".

Ternyata konsep Jawa yang dipakai menjadi dasar orientasi bagi Dwifungsi ABRI, sementara konsep Sumatera ditinggalkan. Padahal, kalau dikaji sedalam-dalamnya pada konsep Sumatera itu sudah dekat sekali dengan gagasan Bela Negara yang pada saat ini sedang digalakkan dalam kehidupan bernegara.

Dengan adanya mis-conception itu kemudian timbul pertanyaan, untuk kepentingan siapa sebenarnya Dwifungsi ABRI itu? Datangnya pertanyaan itu karena disitu kita melihat dua fakta, yang satu ada di zamannya Orde Revolusi Soekarno dan yang satu lagi ada di zamannya Orde BaruSoeharto.

Kalaulah benar Dwifungsi ABRI itu adalah partisipasi ABRI seharusnya gagasan itu tidak memilih zaman buat penerapannya.

Sepanjang masa Dwifungsi ABRI itu bisa diterapkan karena tak tersangkut dengan waktu. Tetapi, yang kita lihat pada zaman Orde Revolusi Soekarno belum lagi diterapkan, mungkin pada masa itu nama ABRI belum lagi dikenal. Yang populer pada saat itu nama TNI karena nama itu digunakan sesudah Proklamasi.

Kalau alasannya seperti itu, bisa saja dipakai nama Dwifungsi TNI asalkan tidak jauh dari konsep aslinya. Padahal, perubahan nama dari TNI menjadi ABRI masih terjadi di zaman Orde Revolusi Soekarno. Begitupun Dwifungsi ABRI itu tidak juga muncul pada masa itu.

Dwifungsi ABRI itu baru dimunculkan di zaman Orde Baru Soeharto sampai hal itu menimbulkan pertanyaan, untuk kepentingan siapa sebenarnya Dwifungsi ABRI itu digagas? Sudah pasti jawabannya untuk kepentingan rakyat tetapi yang demikian itu baru sebatas teoritis konsepsional, belum lagi dalam bentuk faktual realistis.

Antara teoritis dengan faktual terdapat differensiasi yang dilemmatis sehingga hal itu menimbulkan sikap apriori dan sinisme dikalangan rakyat itu sendiri. Berarti disini, oknum-oknumnya yang belum siap melaksanakan doktrinnya sendiri.

Akhirnya kita berpendapat bahwa kegagalan dan kehancuran Orde Baru itu salah satu penyebabnya karena Dwifungsi ABRI itu sendiri yang dalam pelaksanaannya selalu tidak identik dengan konsepsinya sendiri.

Lalu, sekarang kalau mau diulang kembali Dwifungsi ABRI itu apakah masih bisa diterima atau tidak dikalangan rakyat akan menjadi satu pertanyaan tersendiri yang jawabannya sukar ditebak sekarang ini.

Pasti masyarakat hanya melihat dari segi kenyataan masa lalu saja dan belum dapat melihat dalam konteks masa depan. Padahal, kalaulah Dwifungsi ABR Iitu tadinya mengambil konsep Sumatera menjadi dasar orientasinya mungkin akan lain hasilnya, tidak akan seperti di masa lalu.

Konsep Sumatera itu lebih dekat dengan Bela Negara dimana sipil dimiliterkan yang bisa menjadi acuan untuk membenahi kembali gagasan Dwifungsi ABRI tadi. Tetapi disini Dwifungsi ABRI tersebut haruslah menjadi ajang pengabdian atau dedikasi dan ajang pesemaian jiwa patriotisme bagi warga sipil.

Jadi, Bela Negara itu menjadi "jembatan" antara masyarakat sipil dan ABRI atau TNI. Maka dalam kaitannya dengan Dwifungsi ABRI akhirnya akan menempatkan Dwifungsi ABRI tadi sebagai mitra penuh dari Bela Negara karena disitu terdapat uji fisik dan mental dalam mengabdi kepada Negara dan Bangsa. .

Selain daripada itu agar praktek-praktek lama tidak terulang kembali maka dalam Dwifungsi ABRI itu aparat militer perlulah "didampingi" terus oleh rakyatnya sendiri dimana selama ini TNI atau ABRI telah mengambil "sumpah" bahwa TNI/ABRI adalah anak kandungnya rakyat.

"Sumpah" itu harus dibuktikan oleh mereka para prajurit TNI/ABRI dalam bertugas dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Ingatlah masa dahulu sewaktu Perang Gerilya menghadapi Agresi Militer Belanda, kalau tidak ada rakyat pasti anggota TNI mati kelaparan semuanya. Yang Jelas sampai kini TNI bukanlah perusahaan melainkan Tentara dan makan minumnya dari rakyat.
***
Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun