Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Kami yang Bergerilya di Tapanuli Selatan Tahun 1949

24 November 2017   22:38 Diperbarui: 1 Desember 2017   20:08 6280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agresi Militer Belanda ke dua (sumber; history1978.wordpress.com)

Jangan dikira kami yang bergerilya itu menetap di satu kampung saja, kami harus melakukan musafir gerilya dari satu kampung ke kampung lainnya agar nantinya tidak tertangkap tentara Belanda yang satu waktu bisa saja melakukan patroli ke kampung-kampung itu.

Itu alasan yang pertama! Alasan yang kedua kami melakukan musafir gerilya itu karena ibu kandung penulis sendiri sedang hamil. Bagaimana pun juga ketika nanti melahirkan perlu bantuan "dukun beranak" karena pada waktu itu tidak ada bidan atau pun perawat. Maklum saja di daerah hutan, manalah mungkin ada bidan.

Mencari "dukun beranak" saja sangatlah susah pada waktu itu, apalagi bidan atau perawat. Terpaksalah menjelajahi semua kampung yang ada yang rata-rata jaraknya ditempuh hampir satu hari berjalan kaki.

Disaat-saat seperti itulah saya merasa kasihan melihat ibu saya tersebut. Terpaksa dia berjalan tertatih-tatih dengan nafas tersengal-sengal menempuh jalan setapak yang terkadang di kiri kanan jalan itu terdapat jurang yang dalam. Terkadang harus mendaki sebuah bukit. Terkadang harus menuruni sebuah lembah. Dan sewaktu-waktu menyeberangi anak sungai.

Selain ibu saya masih ada seorang perempuan lain yang juga sedang hamil dan suaminya staf ayah saya sendiri turut bergerilya bersama kami. Tetapi, sudah suratan nasib baginya, si ibu tadi melahirkan anak di jalan setapak ditengah hutan tanpa bantuan "dukun beranak", apalagi bidan. Tidak ada satu orang pun di sana.

Yang bertindak menjadi "bidan" pada waktu itu adalah suaminya sendiri. Terpaksalah dia turun tangan menolong isterinya melahirkan sekaligus pula menyiapkan segala keperluan untuk persalinan.

Kebetulan pada waktu itu turun pula hujan, alangkah paniknya bagaimana dia harus melindungi isterinya yang baru melahirkan itu. Terburu-buru dia membuat saung dari ranting-ranting dan daun-daunan kayu. Walaupun tidak sempurna tetapi masih dapat juga melindungi isteri dan bayinya dari hujan yang cukup lama itu.

Berhari-hari dia di jalan setapak itu, malam tanpa lampu, siang kehujanan atau kepanasan. Makan pun apa adanya, terpaksa masak bubur karena beras hampir habis. Seminggu mereka di situ, baru mereka beranjak menuju kampung terdekat.

Setelah kota Rantau Perapat, Ibu Kota Kabupaten Labuhan Batu, diduduki Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 maka semua orang republik keluar dari kota itu dan mengungsi ke hutan-hutan yang ada di sepanjang Sei Bilah itu.

Ada yang kehulu, ada pula yang kehilir. Ada pula diantaranya yang menuju kota-kota kecil yang belum sempat diduduki tentara Belanda.

Pada tanggal 22 Desember 1948 penulis bersama orangtua dan adik-adik, tiga orang semuanya, ditambah pula dua orang sepupu ibu sampailah di Kampung Padang Matinggi, yang berada tidak jauh dari Sei Bilah. Kampung ini kemudian menjadi kantong gerilya karena di situ pusat pertahanan Kapten Manap Lubis bersama pasukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun