Sebentar lagi, rakyat Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan. Tepatnya pada tanggal 10 Nopember 2017 dan diseluruh Nusantara ini akan dikibarkan bendera Merah Putih. Tetapi, tidak setengah tiang!
Risalah ini dibuat tidaklah untuk memperingati Hari Pahlawan tersebut melainkan hanya mengambil momentum itu saja untuk mengupas apa yang disampaikan oleh judul diatas. Begitu pentingnya-kah judul tersebut sehingga perlu diturunkan tulisan ini untuk disuguhkan kepada para pembaca.
Memang, tidak penting sekali sebab, soal gelar Pahlawan Nasional itu bukanlah urusan kita melainkan kompetensinya Pemerintah. Tetapi, kita menyadari bahwa gelar Pahlawan Nasional itu akhirnya akan membawa nama bangsa dan disitulah ada kewajiban kita untuk menyampaikan sumbangsih pemikiran.
Kita mengetahui ada dua mantan Presiden RI dipromosikan untuk diberi gelar Pahlawan Nasional, salah satu diantaranya H.M Soeharto, mantan Presiden RI ke-2. Pengajuan promosi itu sudah berulangkali tetapi sampai sekarang belum dapat dikabulkan oleh Pemerintah. Â
Penulis sendiri, secara pribadi, tidak merasa keberatan kalau kepada Soeharto, mantan Presiden RI ke-2, itu diberi gelar Pahlawan Nasional. Berarti akan menambah panjang daftar nama-nama para pahlawan kita yang pada saat ini telah mencapai jumlah 169 orang itu.
Memang, hampir setiap tahun ada saja tokoh-tokoh yang diangkat oleh Pemerintah untuk ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Penilaiannya, apakah relevan atau tidak, tergantung terpenuhinya atau tidak kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Kalau memang memenuhi kriteria, mengapa tidak? Boleh saja seseorang diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Semakin banyak Pahlawan Nasional kita semakin nampak bahwa Republik Indonesia ini tidak sepi dari orang-orang yang berjasa.
Akan tetapi sepertinya Soeharto tidak bisa diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena terganjal oleh persyaratan yang tidak dapat dipenuhi. Memang, ganjalan itu telah membuat orang-orang yang pro Soeharto, terutama sekali yang mengajukan promosi, merasa terpukul.
Apa pertimbangan Pemerintah sehingga menganggap Soeharto tidak layak diberi gelar Pahlawan Nasional? Tidak ada informasi yang jelas untuk dijadikan rujukan. Sekalipun Pemerintah berkenan memberikan gelar tersebut kepada Soeharto namun, kita berkeyakinan pasti banyak yang memprotes. Sudah pasti datangnya protes itu dari orang-orang yang anti pada Soeharto.
Terlepas dari soal tersebut diatas, memang rasanya Soeharto tidak layak diberi gelar Pahlawan Nasional karena ada satu persoalan yang membuat dirinya itu terhalang untuk mendapatkan gelar tersebut.
Zaman penjajahan kolonial Belanda dahulu, Soeharto pernah menjadi tentara Belanda yaitu menjadi anggota tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger), tentara jajahan Belanda. Maka disini Soeharto melakukan cooperator.
Disaat Soekarno dipenjara, dari satu penjara ke penjara lainnya, maka Soeharto bersama induk pasukannya disaat itu terus melakukan penangkapan pada kaum pergerakan kebangsaan yang menuntut kemerdekaan, dari satu tempat ke tempat lainnya.
Apakah pada saat itu Soeharto menyadari atau tidak dengan profesinya sebagai tentara Belanda tersebut tidaklah kita ketahui. Karena bagaimanapun di matanya sendiri setiap waktu dia melihat bagaimana derap langkah kaum pejuang di masa itu yang selalu berakhir dengan penangkapan-penangkapan.
Berapa banyak kaum pergerakan kebangsaan pada masa penjajahan Belanda itu yang ditangkap, lalu dipenjarakan, dihukum mati, bahkan banyak yang dibuang ke Boven Digul, di Papua sana, di hulunya Merauke.
Dengan konduite Soeharto seperti itu, apakah masih layak Soeharto ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional, tentu saja pertanyaan ini terpulang kepada pembaca sekalian. Kalau masih ada juga ambisi untuk menabalkannya sebagai PahlawanNasional, mungkin yang demikian ini akan menjadi masalah sejarah, yang pada gilirannya akan menjadi penilaian besar oleh generasi yang akan datang.
Protes sudah pasti datang, terutama dari kalangan kaum Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mereka ini baru diakui sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia apabila memenuhi syarat paling sedikit dua macam.
Kaum Perintis Kemerdekaan itu baru diakui apabila mereka dahulunya semasa berjuang dimasa penjajahan Belanda, pertama- tidak pernah bekerja sama dengan Belanda (non cooperator) dan kedua- pernah ditangkap Belanda lalu dipenjarakan atau dibuang (terutama ke Boven Digul) atau dihukum mati atau digantung.
Begitulah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diakui sebagai seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia. Sementara, Perintis Kemerdekaan Indonesia itu bukanlah Pahlawan. Malah, derajatnya masih dibawah Pahlawan tetapi syaratnya begitu berat untuk mendapat pengakuan sebagai Perintis Kemerdekaan.
Kalau Soeharto yang cooperator itu diangkat menjadi Pahlawan Nasional, apakah tidak mendatangkan reaksi protes nantinya. Pastilah kaum Perintis Kemerdekaan itu akan meminta kepada Pemerintah agar mereka semua anggota Perintis itu, yang jumlahnya lebih dari 8.000 orang diseluruh Indonesia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, diangkat pula menjadi Pahlawan Nasional.
Mereka itu lebih berhak mendapatkan gelar tersebut ketimbang Soeharto yang cooperator itu. Dengan begitu Indonesia akan kaya dengan Pahlawan Nasional yang jumlahnya bisa mencapai hampir 9.000 orang.
Kalau masih banyak juga yang ingin mengangkat Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, silahkan saja! Tetapi, apakah kita tidak mengkhianati sejarah. Bahkan, mungkin saja dunia akan mentertawakan kita.
Satu hal lagi, Soeharto dianggap telah melakukan kesalahan dengan memaksa Soekarno, Presiden yang sah pada waktu itu, harus menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Super Semar di tahun 1966.
(Bagi kawan-kawan saya dahulu menamakan Super Semar itu "Surat Perintah Semua Masuk Ranjau").
Bagi Soeharto sendiri "Super Semar" itu adalah surat sakti, yang akhirnya mengantarkan dia menduduki jabatan Presiden RI ke-2 setelah menggulingkan Presiden Soekarno, Presiden yang sah, dengan dua kali kudeta.
Kudeta yang pertama, lewat surat sakti tadi MPRS yang pada waktu itu dipimpin oleh Ketuanya Jendral A.H. Nasution melakukan kudeta konstitusional dengan mencabut Mandataris MPRS dari tangan Soekarno.
Kemudian disusul pula dengan kudeta yang kedua. Atas perintah Soeharto terjadilah kudeta polisional dimana Soekarno ditangkap dan dikenakan tahanan rumah di Wisma Yaso dengan ketentuan tidak boleh satu orang pun menjenguknya.
Soekarno ditahan tanpa proses peradilan sampai akhir hayatnya pada bulan Juni 1971. Empat tahun Soekarno menderita batin dan selama empat tahun itu pula terjadilah perlakuan yang tidak manusiawi terhadap Soekarno.
Namun, sebelumnya, pada tanggal 17 Agustus 1966 Presiden Soekarno sempat juga menyampaikan Pidato Kenegaraannya yang terakhir yang terkenal dengan judul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau "Jas Merah". Seakan pidato itu pesan terakhir buat rakyat Indonesia. Selama menjabat jadi Presiden terdapat Pidato Kenegaraan Soekarno sebanyak 20 kali (1946 -- 1966).Â
Dalam pidatonya itu antara lain Presiden Soekarno menjelaskan apa isi Super Semar tersebut. Hanya tiga points aja, tetapi disini kita hanya menyampaikan satu point saja karena yang satu ini lebih dekat dengan permasalahannya. Â Â
Point pertama itu isinya ialah Soeharto ditugaskan "Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya Pemerintahan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi".
Jauh sebelum Soekarno ditahan, masih di tahun 1965, beberapa hari setelah meletusnya G.30.S/Gestapu/Gestok, Soekarno sempat mengatakan "Revolusi kita mengalami set back 30 (tiga puluh) tahun lamanya." Â
Prediksi Soekarnoitu memang ada benarnya kalau sekiranya Soekarno masih terus menjadi Presiden RI memerintah NKRI. Tetapi, pribadi Soekarno sendiri ditahan dan diasingkan di Wisma Yaso, maka set back tadi bukan lagi 30 tahun tetapi sudah mundur (set back) selama 300 tahun lamanya.
Apa yang kita alami dan kita rasakan sekarang ini adalah buahnya dari set back atau mundurnya Revolusi yang digariskan oleh Soekarno. Syukurlah sebelum 300 tahun kita sudah bisa kembali kepada Revolusi ajaran Soekarno. Itu pun kalau rakyat masih mau menerimanya.
Begitu jelas dan tegasnya perintah Soekarno kepada Letjen Soeharto, yang pada waktu itu menjadi Menteri Panglima Angkatan Daratnamun, oleh Soeharto tidak ada satu pun yang dipatuhinya. Malah, Soeharto membangkang terhadap "Super Semar" itu sendiri, surat itu dijadikan surat sakti menjatuhkan Soekarno.
Dalam Super Semar tersebut Soeharto diperintahkan untuk memberikan jaminan atas keselamatan pribadi dan kewibawaan Soekarno selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Revolusi/Pemegang Mandataris MPRS.
Akan tetapi keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno pada waktu itu tidak dijaga dan dijamin oleh Soeharto malah, Soeharto itu sendiri telah melakukan makar dengan menggulingkan Soekarno, Panglima Tertingginya sendiri.
Jangankan untuk melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi malah, semua ajaran itu "dikentuti" oleh Soeharto. Semua perbuatannya itu tidak mencerminkan sebagai seorang negarawan yang hormat pada pimpinan. Etika kenegaraan diabaikan sama sekali olehnya.
Soeharto adalah orang yang tipenya haus kekuasaan dan sedikit agak serakah. Hal itu dapat dilihat dari perjalanan karir Soeharto sendiri dari sejak awal Revolusi Perang Kemerdekaan dahulu sampai ke masa konfrontasi Ganyang Malaysia.
Kalau sekarang ini ada "pemburu rente" maka sejak Soeharto berkuasa banyak sekali orang-orang yang menjadi "pemburu parit" atau "pemburu palu arit" alias "pemburu orang-orang komunis". Parit, kok, diburu-buru- yah, begitulah jadinya, banyak orang-orang komunis yang diburu dan dibantai tanpa melalui peradilan. Â
Yah, orang-orang komunis itu bolehlah dianggap manusia sampah, dianggap mereka atheis, tetapi, orang-orang "pemburu parit" itu tidakkah mereka itu lebih  tengik lagi dari orang-orang komunis tadi karena berburunya di parit-parit?Â
Bayangkan ! Â Mereka orang-orang komuni situ masih Bangsa Indonesia juga, masih sebangsa dengan kita, mengapa sampai mereka itu dibunuh tanpa alasan yang kuat. Bahkan, diantara kaum wanitanya ada yang dijual dijadikan pelacur setelah lebih dahulu dijadikan gundik beberapa waktu lamanya.
Buruknya kondisi ketika itu telah membuat tidak ada kepastian hukum pada masa itu. Semua bagaimana kata Penguasa. Kalau ada Penguasa yang berhati nurani masih mendingan.
Memang, Pembangunan dilaksanakan Soeharto pada masa 32 tahun dia berkuasa. Tetapi, versi Pembangunan itu sudah berbeda dari zaman Soekarno dahulu. Tetapi, buat saya pribadi Pembangunan Soeharto itu tidak ada artinya sebab, ditengah-tengah glamournya  Pembangunan itu saya sendiri pribadi mengalami "kelaparan" sampai sepuluh kali.
Paradoks dan ironissekali Pembangunan Soeharto tersebut, sebab masih banyak lagi orang lain yang mengalami nasib yang serupa seperti saya tadi. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto banyak mencetak konglomerat-konglomerat, cukong-cukong China yang "dimodali" dari uang Negara.
Lebih kurang ada 300 orang konglomerat yang dicetak oleh Soeharto selama dia berkuasa. Berarti setiap tahunnya ada 10 orang konglomerat yang diproduksi oleh Soeharto.
Di Luar Negeri untuk melahirkan seorang konglomerat butuh waktu 25 tahun lamanya tetapi di Indonesia dalam setahun bisa mencetak sepuluh orang konglomerat. Prestasi yang luar biasa !
Meskipun demikian, bukan persoalan itu yang ingin kita bahas pada risalah ini tetapi menyangkut dengan layak tidaknya Soeharto diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Soeharto memang tidak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Pernah sebagai tentara KNIL Belanda. Melakukan makar terhadap Presiden yang sah dengan melanggar ketentuan yang terdapat dalam "Super Semar". Sengaja melakukan genosida dengan membiarkan pembantaian orang-orang komunis oleh mereka "pemburu-pemburu parit". Ekonomi Pembangunan Indonesia dikuasai oleh cukong-cukong konglomerat China.
Namun, ada satu hal yang kita sendiri boleh memberikan penghargaan besar pada Soeharto. Dia pantas diberi gelar "Bapak Penyelamat Bangsa". Kalau tidak ada dia, jika Soekarno masih berkuasa, mungkin sudah terjadi "Perang Saudara" dikalangan kita sendiri sesudah G.30.S/Gestapu/Gestok itu meletus. Â
Pemberian gelar itu harus diberikan oleh Negara secara resmi dalam suatu upacara dan penghargaan itu harus disampaikan kepada keluarganya yang ada di Cendana. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H