Kaum komunisselalu mempertentangkan komunismedengan Marhaenisme, ajaran Soekarno, ideologi andalankaum nasionalis.Setelah Bung Karnopada masa lalu itu mengeluarkan rumusan bahwa Marhaenismeitu adalah "Marxisme yang diterapkan didalam situasi dan kondisi di Indonesia", barulah kaum komunisitu sedikit merasa lega.
Berarti akan terbuka kesempatan untuk menanamkan komunismekepada kaum nasionalissecara akuratdan intensif, sekurang-kurangnya kaum nasionalisitu bisa berada didalam pengaruhnya.
Akan tetapi apa yang mereka inginkan itu tidak kesampaian, malah terjadilah apa yang dinamakan konflik ideologi.Kaum komunismenuduh kaum nasionalisitu revisionisajaran Marxisme.
Konflik ideologiselalu berkesudahan dengan konflik fisikseperti yang pernah terjadi di Yogyakarta pada bulan Mei 1965, beberapa bulan sebelum meletusnya G.30.S/Gestapu/Gestok.
Ketika itu penulis risalah ini berada di Kota Gudeg tersebut sedang menimba ilmu di Fak. Ilmu Pasti dan Alam (FIPA sekarang FMIPA), UGM sejak tahun 1962. Pada bulan itu kaum nasionalis yang tergabung dalam Pemuda Marhaen, GMNI, KBM, dan lainnya mengadakan pawai bendera (vlagvertoon) dari Klaten menuju Yogyakarta.
Pawai bendera itu sungguh mengejutkan, kepala barisan sudah tiba di Yogya tetapi ekornya belum lagi berangkat dari Klaten, begitu panjangnya barisan pawai bendera tersebut.
Hal itu menimbulkan amarah dikalangan ormas-ormas onderbouwPKI seperti Pemuda Rakyat, BTI, CGMI, dan sebagainya. Sepanjang perjalanan dari Klaten ke Yogyakarta pawai bendera itu terus diteror oleh mereka dengan melempari barisan dengan batu-batu, bahkan anak panah, sehingga banyak yang mengalami cedera atau luka-luka. Â
Insiden itu hanyalah puncak dari konflik ideologi yang sudah sangat menajam dan sepertinya merupakan sinyal akan ada peristiwa besar yang bakal terjadi. Tetapi, pikiran kita pada waktu itu tidak sampai kesana. Rupanya insiden tersebut tiada lain merupakan 'gladi resik' untuk menyongsong peristiwa G.30.S/Gestapu/Gestok.
Penulis sendiri berulang kali berdebat dengan mereka tokoh-tokoh CGMI maupun Pemuda Rakyat tentang ideologi  paripurna, Pancasila-kah atau Komunisme. Dalam perdebatan itu saya sendiri selalu menggunakan Historis Materialisme mereka sebagai alat untuk menyudutkan mereka sendiri.
Seringkali mereka itu terpojok dengan argumen-argumen yang saya sampaikan dan disitu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mereka kader-kader komunisitu tidak matang dalam menguasai Historis Materialisme, ajaran mereka sendiri.
Dari pengalaman itu saya bisa mengambil kesimpulan bahwa ideologi harus dilawan dengan ideologi pula. Jadi, mengapa kita harus takut sekali dengan komunisme sementara, kita sendiri mempunyai ideologi Pancasila yang mampu berkonfrontasi dengan komunisme maupun ideologi lainnya.