Mohon tunggu...
Wahid Munfarid
Wahid Munfarid Mohon Tunggu... lainnya -

Rumit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengatur Pengeras Suara Masjid

25 Mei 2012   08:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:49 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu juga diperhatikan dalam hal zikir mengenai adabnya, bahwa kebanyakan zikir terlarang untuk mengeraskan suara pembacaannya. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahiih-nya pada Kitaab Al-Jihaad wa As-Siyaar dan Muslim juga dalam  Shahiih-nya pada Kitaab Adz-Dzikr wa Ad-Du'aa'i wa At-Taubah wa Al-Istighfaar, dari Abu Musa Al-Asy'ari ia berkata, “Kami dalam suatu perjalanan bersama Nabi. Ketika orang-orang mengeraskan suara ketika bertakbir, maka Nabi bersabda, 'Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada Zat yang tuli dan Zat yang tidak ada. Sesungguhnya Ia maha mendengar lagi maha dekat. Ia bersama kalian…'” (Lafaz hadis ini menurut riwayat Muslim).

Dari sini juga dapatlah dikatakan bahwa kebiasaan sebagaian orang meneriakkan takbir dalam beberapa kesempatan adalah bertentangan dengan sunah Nabi. Kepada mereka yang masih saja melazimkan takbir dengan teriakan ini patut merenungkan firman Allah, “Serulah Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-A'raf [7]: 55). Menyombongkan  diri dengan tidak menyeru (berdoa) kepada Allah dan mengeraskan suara ketika zikir merupakan tindakan melampaui batas berdasarkan ayat ini.

Namun, sangat perlu dikritisi apa yang disinggung wakil presiden mengenai pengaturan pengunaan pengeras suara di masjid tatkala azan. Jika dimaksudkan agar azan sebagai suara panggilan salat dipelankan, tentu ini tidak dapat diterima karena menyalahi syariat. Sebagaimana telah dipahami bersama, banyak dalil dari sunah yang menerangkan dengan gamblang bahwa azan harus dikeraskan pelafazannya. Sebab azan berfungsi mengumumkan waktu salat telah masuk dan memanggil umat untuk salat berjamaah di masjid.

Hal tersebut tidak akan tercapai jika azan dipelankan atau hanya dapat didengar di dalam masjid saja. Jika mau sedikit menilik sejarah, muazin biasa menyerukan azan di puncak menara atau tempat tinggi lain agar umat yang hidup di zaman belum mengenal sound system modern seperti sekarang mampu mendengar seruan azan. Ringkasnya, inilah kekhususan azan terhadap keumuman dalil lainnya yang menganjurkan merendahkan suara ketika berzikir.

Meskipun demikian, tidak pula dapat dibenarkan jika azan ini diserukan dengan sekeras-kerasnya. Yang perlu dilakukan oleh umat Islam--ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah--adalah bagaimana supaya pengeras yang digunakan di masjid-masjid yang menyerukan azan diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu pelan. Tentu saja ini membutuh perangkat pengeras suara yang baik, tidak seperti beberapa masjid yang dengan dana terbatas menggunakan pengeras suara ala kadarnya, sehingga seruan azan terdengar cempreng.

Selain itu, perlu juga ditunjuk muazin bersuara lantang namun merdu untuk melantunkan azan. Hal ini tidak lain ditujukan agar panggilan salat fardu lima kali sehari semalam tersebut mampu menyentuh relung kalbu setiap insan sehingga tergerak untuk bersegera menunaikan kewajiban paling utama, salat di awal waktu. Bahkan tak jarang, seruan azan seperti itu dapat memberikan cahaya hidayah kepada pemeluk agam lain untuk masuk dalam lingkaran keindahan Islam.

Tak ada salahnya bila pemerintah menganggarkan dana khusus untuk merealisasikan dua hal tersebut. Meskipun sebenarnya dengan sosialisasi persuasif mengenai azan dan pengaturan penggunaan pengeras suara sedemikian, umat muslim Indonesia tanpa kucuran dana pemerintah sangat mampu secara swadaya mewujudkannya.

Sangat tidak logis bila masih ada yang merasa terganggu dengan azan yang demikian. Seburuk-buruk suara yang mengumandangkan azan tentu lebih mulia daripada suara mendayu-dayu para penganjur kemaksiatan yang setiap saat mendengungkan kemungkaran berbalut seni. Taruhlah azan tersebut sangat mengganggu, maka tidakkah bisa bersabar barang lima menit untuk sejenak mengingat ilahi? Di sinilah iman berbicara. Tidak perlu heran jika keluhan semacam ini berasal dari nonmuslim yang fobia dan paranoia terhadap Islam. Tetapi mengapa ada pula yang mengaku muslim turut latah merasa terganggu?

Akhirnya, patutlah bagi kaum muslimin untuk menimbang kembali segala kebiasaan yang berlaku dengan timbangan Islam, yaitu Alquran dan sunah. Adat kebiasaan dan kebudayaan tidaklah menjadi suatu hal yang tercela jika memang bersesuaian dengan ajaran Islam. Akan tetapi,  jika adat kebiasaan dan kebudayaan itu bertentangan dengan Islam, sepantasnyalah hal itu ditinggalkan karena syariat Allah dan sunah Nabi-Nya lebih utama untuk diikuti.

http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=15247:mengatur-pengeras-suara-masjid&catid=11:opini&Itemid=83

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun