Mohon tunggu...
Ahmad Wahidi
Ahmad Wahidi Mohon Tunggu... -

Untuk baca tulisan saya, Anda gak harus tahu siapa saya, asal saya, warna kulit saya, agama saya, partai saya, juga ukuran sepatu saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelecehan Seksual, (Ke)lakilaki(an),(Ke)wanita(an)

23 September 2010   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual marak terjadi disekitar kita. Entah ini fakta atau hanya opini saya semata, bahwa sebagian besar yang jadi korban adalah para  wanita. Mulai dari yang mungkin bisa dibilang sangat sederhana, korban colak-colek di angkutan umum, sampai yang tingkatnya ekstrim seperti pemerkosaan. Tapi, saya juga gak ngomong kalau laki-laki selalu jadi pelaku, dan gak pernah jadi korban. Bahkan, sekarang pelaku dan korbannya bisa berjenis kelamin sama. Akan tetapi, mayoritas korban memang wanita.

Pelecehan seksual gak kenal usia, baik pelakunya atau korbannya. Lihat berita di salah satu stasiun TV, ada Pria diatas 70 tahun melakukan perbuatan yang gak bermoral pada gadis 6 tahun. Dari segi status sosial juga menunjukkan variasi yang unik. Ada Guru yang meniduri muridnya sendiri. Ada kyai yang mencabuli santrinya sendiri. Pelecehan seksual juga sudah menyentuh semua kelas, menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Berita ada Bos yang menghamili Pembantu Rumah Tangga sudah tidak bikin masyarakat kaget, toh sudah biasa terjadi. Tapi kalau yang jadi korbannya kelas atas, kayaknya memang gak sering terdengar, dan mungkin gak sebanyak kelas menengah ke bawah, ataukah mungkin, Pelecehan seksual antar kalangan atas gak kelihatan sebagai bentuk pelecahan seksual , karena uang, jabatan, atau apapun namanya, yang berwujud materi bisa mentransformasikan bentuk pelecehan seksual menjadi sesuatu yang terdengar halus, yang namanya : mau sama mau. Tapi yang paling menyedihkan bagi saya secara pribadi, pelecehan seksual sudah gak pandang darah. Ada pemuda yang memperkosa neneknya sendiri. Ada Ayah yang tega menunjukkan kelelakiannya pada anaknya yang balita. Ketika saya menyalakan TV, banyak sekali berita-berita  semacam itu, dari yang hanya sebatas memainkan tangan, sampai yang memainkan selangkangan.

Kira-kira apa sebabnya, kawan?. Sebagian besar teman saya di kampus, selalu bilang kalau masalahnya adalah gaya berpakaian wanita sekarang yang terkesan seksi, sehingga membuat Pria tergiur. Tapi bagi saya pribadi, sebenarnya sumber masalahnya bukan itu, itu hanya berkaitan dengan objek, bukan subjek. Hal yang pertama harus diubah adalah subjeknya, jangan objeknya. Saya melihat disini, wanita sebagai korban, adalah objek. Sedangkan Pikiran kita adalah subjeknya, pelaku aktif.

Seperti crita yang dialami teman saya, Saat naik bis kota, Dia melihat wanita lewat didepannya, wanita itu memakai baju panjang, berjilbab dan bercadar, yang kelihatan hanya matanya , telapak tangannya , dan telapak kakinya yang memakai sandal. Akan tetapi, teman saya itu membayangkan wanita itu, dia bertanya dengan bisik-bisik pada saya, "Wanita itu pake bra gak ya?celana dalamnya warna apa?ukurannya berapa?kalau lagi begituan  lepas celana dalam dan cadarnya gak ya?".  Adalagi teman saya yang lain, di bis yang sama, dia melihat seorang ibu muda yang sedang hamil, dia mengaku nafsu karena memikirkan bagaiamana cara ibu muda itu dihamili oleh (mungkin) suaminya. Dan, di Bis yang sama, ada teman saya yang lain lagi, di sebelah  tempat dia duduk, berdiri  seorang  wanita cantik, yang cuman pake tank top dan rok mini beberapa cm di atas lutut, pokoknya  keindahan lekuk tubuhnya kelihatan, dan sesuatu yang indah menggantung didada wanita itu, seolah-olah  siap meloncat ke arahnya secara tiba-tiba bila sopir mengerem secara mendadak,  tapi teman saya itu cuman lihat sepintas , habis itu dia kembali ke komik Doraemon yang dia baca, karena dari tadi fokus pikirannya memang pada komik yang dia baca, bukan pada yang lain. Bukan juga karena dia impoten atau homo. Saya belajar dari ketiga teman saya itu,  bahwa sumber masalahnya adalah pada pikiran kita, pada subjeknya, bukan objek. Biarpun semua wanita menutup auratnya, tapi kalau pola pikir kita tentang apa itu sex?apa itu wanita?apa itu laki-laki?apa itu manuasia?belum dipikirkan secara non linier dan siklikal, maka yang namanya pelecehan seksual akan terus terjadi. Tapi jangan salah sangka, bukannya saya menyuruh wanita untuk tidak menutup  auratnya, Semua terserah individunya masing-masing. Saya hanya menegaskan, mana yang menjadi subjek dan mana yang menjadi objek.

Variabel yang membentuk pola pikir masyarakat  sehingga melakuakan pelecehan seksual itu banyak sekali, mulai dari  tekanan ekonomi yang memuncak, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sebagai manusia oleh pemerintah, bentuk pelampiasan dan ketidakpuasan diri, krisis mental, pendidikan sex yang tidak memadai, dan banyak sekali variable lain yang membentuk ketakberesan pola pikir masyarakat, tapi tidak akan di bahas ditulisan ini karena itu bukan bidang saya, saya hanya orang awam yang mencoba menulis. Oleh karena itu, sudut pandang yang saya gunakan terhadap masalah ini adalah sudut pandang orang awam. Menurut ke-awam-an saya, pelecehan seksual terjadi karena manusia sudah tidak tahu bagaimana cara memanusiakan manusia. Manusia memandang manusia seharusnya secara manusiawi. Jika laki-laki mamandang wanita sebagai wanita, maka kelaki-lakiannya yang berbicara. Jika wanita memandang laki-laki sebagai laki-laki, maka kewanitaannya yang akan mendesah. Dan, jika manusia memandang manusia sebagai manusia, maka kemanusiaannya yang akan dipancarkan dalam sikapnya. Apabila , setiap Laki-laki menganggap wanita , yang bukan istrinya, adalah sesama manusia, bukan memandangnya sebagai wanita, maka yang namanya pelecehan seksual tidak perlu terjadi. Begitu juga sebaliknya, wanita memandang laki-laki sebagai sesama manusia. Kalau manusia memandang jenis kelamin, maka ujung-ujungnya berhubungan  kelamin, tapi kalau yang kamu lihat itu manusianya, maka yang ada hanya satu kata: KEMANUSIAAN. Beda ceritanya kalau kamu lihat pasangan kamu, silahkan pandang jenis kelaminnya, laki-laki dengan sudut pandang kelaki-lakiannya, dan wanita dengan sudut pandang kewanitaannya. Manusiakanlah manusia sehingga hanya ada sudut pandang kemanusiaan.

Salam Kompasianer!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun