Mohon tunggu...
Wahida Millah
Wahida Millah Mohon Tunggu... Auditor - mahasiswa

chill and stay positive

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peran Jokowi Menangani Permasalahan di Wamena dari Perspektif Psikologi Politik

24 Oktober 2019   11:29 Diperbarui: 24 Oktober 2019   15:28 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

September ini telah terjadi kericuhan di Wamena, Jayapura provinsi Papua. Terjadi pembakaran di sejumlah bangunan seperti rumah dinas, ruko-ruko, maupun kantor bupati serta banyaknya terdengar suara tembakan beruntun yang terdengar di sekitar Wamena. Hingga terdata sebanyak kurang lebih 32 korban telah berjatuhan akibat peristiwa tersebut. 

Akibat peristiwa tersebut banyak masyarakat Papua yang mengungsi dan menyebabkan rasa traumatik bagi masyarakat lokal maupun pendatang hingga mereka memutuskan mengungsi keluar Papua. Kepala Biro Penenrangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengungkapkan penyebab terjadinya kekacauan tersebut ialah adanya berita hoaks yang menyebar terkait isu rasisme yang dilontarkan salah seorang guru. Selain itu berdasarkan beberapa kesaksian warga mengaku curiga bukanlah merupakan warga asli Wamena sendiri.

Mendengar peristiwa ini pemerintahan pun tidak tinggal diam. Terdapat beberapa langkah yang diambil Jokowi dalam menanggulangi peristiwa di Wamena. Alah satunya ialah menginstruksikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjnto dan Polri Jenderal Tito Karnavian agar aparat tidak mengambil tindakan represif dalam menangani aksi demonstran. Selain itu Jokowi juga selalu menekankan kepada masyarakat agar tidak sampai memakan berita-berita hoaks yang beredar. 

Namun masih ada juga yang menganggap Jokowi kurang tegas dalam menangani kasus ini. Jokowi dinilai tidak memiliki strategi dalam menyelesaikan konflik dan memercayakan betul kepada aparat keamanan. 

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasan mengungkapkan "saya ingat betul waktu Kapolri tiba mengimbau silakan yang mau berdialog datang, tapi bagaimana dia mempersilakan yang mau dialog datang sambil bawa senjata kan enggak mungkin. Karena dalam penyelesaian konflik kunci utamanya adalah trust ada kepercayaan kedua belah pihak, kalau belum ada kepercayaan enggak bisa berjalan dialog. Itu yang terlihat Pak Jokowi enggak punya leadership,"

Cukup menarik ketika peristiwa ini dapat dikaitkan dengan teori-teori yang ada pada psikologi politik. Psikologi politik sendiri merupakan ilmu psikologi yang mencoba menelaah elemen-elemen kepribadian yang melatar belakangi dan memengaruhi setiap tindakan dan perilaku yang ada pada bidang politik.

Peristiwa yang terjadi di Wamena ini erat kaitannya dengan emosi. Emosi merupakan keadaan fisiologis yang dialami sebagai keadaan afektif yang lebih persis dilabelkan seperti marah, benci, cinta, muak, dan lain-lain. 

Dalam hal politik, emosi memiliki peran ganda yaitu membentuk sistem disposisi yang memengaruhi respons terhadap situasi normal serta menjalankan suatu peran pengawasan atau siaga terhadap situasu baru yang mengancam.

Dalam hal ini peristiwa Wamena muncul sebagai situasi baru bagi Presiden yang bersifat mengancam bagi produktivitas suatu negara. Selain itu, media juga berperan penting dalam munculnya suatu emosi sebab media berperan dalam menentukan isu isu mana saja yang hadir pada bagian terdepan. 

Hal tersebut terjadi sebab masyarakat memiliki keterbatasan perihal waktu serta atensi yang bisa diabdikan untuk mengkaji politik, sehingga mereka mengandalkan media untuk memberitahukan isu-isu mana saja yang memerlukan atensi. 

Media itulah yang akan membentuk suatu emosi pada masyarakat yang akan berpengaruh terhadap pemberian suara maupun keputusan masyarakat kedepannya.

Dalam kasus ini, setelah masyarakat mengetahui kondisi Wamena seperti apa yang di beritakan, maka masyarakat memproses hal tersebut sebagai suatu hal yang melanggar HAM dan memberikan sikap menyurut kepada pemerintahan untuk segera menyelesaikan kasus tersebut tanpa harus melukai pihak manapun.

sumber: 1, 2, 3, dan 4.

Houghton, D.P.(2009). "Political Psychology". New York: Routledge, Ch. I

Cottam, M., Dietz-Uhler, B., Mastors, E., & Preston, T. (2004). Introduction to political psychology. Mahwah, NJ, US: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun