Para akademisi mungkin merasa enggan untuk mengeksplorasi topik-topik yang kontroversial atau tidak sejalan dengan pandangan rektor, karena khawatir akan dampak negatif terhadap karier mereka.
Dalam kasus ekstrem, rektor otoriter dapat menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol penelitian dan publikasi. Hal ini dapat menciptakan budaya autocensorship, di mana para akademisi memilih untuk menghindari subjek-subjek tertentu demi menjaga hubungan baik dengan pihak pengelola universitas.
Fenomena ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan.
Untuk mencegah munculnya gaya kepemimpinan otoriter di institusi pendidikan tinggi, diperlukan sistem yang transparan dan akuntabel.
Pemilihan rektor, misalnya, sebaiknya melibatkan seluruh elemen universitas, termasuk mahasiswa, dosen, dan staf administratif.
Selain itu, mekanisme checks and balances harus diterapkan untuk memastikan bahwa rektor tidak memiliki kekuasaan yang absolut.
Partisipasi aktif dari komunitas akademik juga sangat penting.
Mahasiswa dan dosen harus merasa memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka.
Diskusi terbuka dan inklusif dapat membantu menciptakan lingkungan akademik yang sehat, di mana ide-ide dapat berkembang tanpa rasa takut.
Selain itu, penting untuk menjaga keberagaman dalam kepemimpinan universitas.
Rektor yang berasal dari latar belakang yang beragam dapat membawa perspektif yang berbeda dan mendorong terciptanya budaya inklusif.