Adolf Hitler adalah salah satu figur paling kontroversial dalam sejarah dunia. Kepemimpinannya di Jerman dari 1933 hingga 1945 telah menjadi simbol kekejaman, perang, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, di balik kemunculan dan kejayaan Hitler, terdapat pola-pola kekuasaan otoriter yang tidak hanya berlaku dalam lingkup politik negara, tetapi juga terlihat dalam struktur kelembagaan, termasuk di dunia akademis.Â
Salah satu aspek yang menarik perhatian adalah bagaimana gaya kepemimpinan otoriter di lembaga pendidikan tinggi memiliki kemiripan dengan pola kekuasaan yang diterapkan oleh Hitler di Jerman.
Rektor di institusi pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam menentukan arah dan visi sebuah universitas.
Dalam konteks tertentu, gaya kepemimpinan otoriter dapat menciptakan lingkungan yang represif, di mana kebebasan akademik terancam, ide-ide yang berbeda ditekan, dan keputusan hanya berpusat pada satu pihak.Â
Fenomena ini dapat dilihat sebagai cerminan dari pendekatan otoriter yang digunakan oleh Hitler dalam menjalankan pemerintahannya.
Selama masa pemerintahan Hitler, sistem pemerintahan Jerman berubah drastis dari demokrasi menjadi kediktatoran totaliter.
Hitler menggunakan strategi manipulasi dan propaganda untuk mengonsolidasikan kekuasaan, serta meminggirkan suara-suara oposisi.
Dalam banyak hal, ia memanfaatkan lembaga-lembaga yang ada untuk memperkuat legitimasi pemerintahannya, termasuk lembaga pendidikan.Â
Universitas-universitas di Jerman menjadi alat untuk menyebarkan ideologi Nazi, dengan rektor yang sering kali tunduk pada tekanan politik atau bahkan menjadi bagian aktif dari sistem tersebut.